Catatan Pra-Cetak Antologi Sulaiman H, 21 Desember 2045

Doni Ahmadi
7 min readAug 27, 2020
ilustrasi: Dok. Pribadi

Pada paruh Januari 2045, kawan baik saya, Sulaiman H., mengabarkan kepada saya soal proyek bunga rampai untuk perayaan satu abad kemerdekaan Indonesia. Katanya, ini bakal sedikit berbeda dan bikin saya sedikit repot. Saya pikir apa yang digarap Sulai—panggilan akrabnya—memang selalu berbeda dan selalu merepotkan. Lihat saja riset-riset di laman ahistori.org yang ia kelola, yang isinya membongkar kekurangan fakta dan keterangan sumber untuk berita dan esai-esai di seluruh media Nasional yang membahas sejarah.

Tapi, saya bisa maklum, kebiasaan merepotkan diri sendiri ini juga bukan hal yang asing bagi Sulai, pernah sekali waktu ia meriset soal para penyunting buku sejarah yang isinya condong mendukung ideologi pemerintah, riset berapa kali nama ‘Soeharto’ disebut dalam buku anak terbitan pemerintah di era Orde Baru, hingga alasan mengapa orang berzodiak cancer tidak cocok menjadi sejarawan. Namun kali ini saya tidak pernah menyangka sama sekali bahwa bunga rampai yang ia maksud adalah proyek antologi puisi.

Setahu saya Sulai memang suka sastra, tapi hanya sebatas membaca saja. Kerakusan membacanya sebagai mahasiswa sejarah kala itu memang tidak perlu diragukan meski ia tidak pernah menulis karya fiksi. Waktu kami kuliah dulu, Sulai bisa dibilang rajin meminjam buku-buku sastra milik saya, dan biasanya tematik, dari buku yang terbit dalam tahun atau bulan yang sama maupun hasil suntingan orang yang sama. Penerbit dan Penulis adalah urusan belakang bagi Sulai. Ia memang kelewat ganjil dari dulu, hal yang sekaligus menjadi berkah sebagai kerani arsip yang beruntung karena dapat menemukan sumber-sumber dari hal tak terduga. Yang saya ingat lagi dan saya tiru, membaca sastra bagi Sulai adalah usaha simpan pinjam, ia akan menyimpan narasi-narasi dari prosa dan puisi yang dibacanya untuk disimpan dalam kepala dan meminjamnya saat hendak menulis.

Hal inilah yang bikin saya tidak ragu untuk menjadikan dia editor paruh waktu di penerbitan saya, khususnya naskah-naskah sejarah maupun naskah penelitian yang butuh riset. Beberapa buku terakhir yang saya terbitkan misalnya, Senjakala Buku Fisik (2044) dan Motif Anti-hero Dalam Novel Indonesia 2040–2045 (2045) adalah hasil suntingan Sulai.

Ngomong-ngomong soal naskah antologi suntingan Sulai, pada akhir Juli 2045 naskah itu ia kirim ke surel saya. Sebuah antologi puisi dengan dua judul: (1) Dari Tempat-tempat Gelap: Seabad Puisi-puisi Obskur Indonesia dan (2) Terdepan, Terluar, Tertinggal: Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945–2045. Saya disuruh memilih, ia bilang sebagai penerbit tentu saya memiliki kemampuan untuk membaca pasar dan intuisi yang jempolan agar bukunya bisa laris dari mulai pemilihan judul. Selain itu, ia juga meminta saya untuk mengurus hak cipta ke beberapa penerbit yang masih berdiri untuk puisi-puisi yang ia catut demi kepentingan antologi, dari buku puisi Di Atas Syair Perahu Motor (2030) garapan Andalas Pustaka dan kumpulan puisi Doa (2045) garapan Tuban Culture Press.

Ia bilang, tugas saya tidak berat dan dari 18 penyair yang ia pilih, hanya sisa dua saja yang belum sempat ia urus. Hal ini tentu bikin repot saya, apalagi keduanya bisa dibilang penerbit independen lokal dan hanya sedikit yang mengetahui. Untungnya, Sulai sudah dapat kontak ke dua penerbit tersebut dan sudah menjadi tugas saya agar kelak tidak direpotkan soal royalti. Sisanya sudah diurus Sulai, dengan kata lain ia sudah mendapat izin, yang lainnya, menurutnya sudah bebas hak cipta karena bisa diakses di internet dan diterbitkan oleh penerbit yang gulung tikar.

Selain itu, ia juga mengabari saya bahwa sedang menunggu kawannya menulis epilog untuk antologi tersebut. Saya tidak pernah bertanya siapa kawannya itu, namun karena epilognya meleset dari jadwal awal dan tak kunjung selesai, dan saya bersikeras untuk menghubunginya—hingga membuat opsi bahwa saya sendiri yang akan membuat epilog—akhirnya saya tahu bahwa orang itu adalah Laura Putri Lasmi.

Soal Laura, seingat saya Sulai pernah memiliki hubungan asmara yang agak ganjil dengan kandidat Doktor La Trobe University ini. Tepatnya sewaktu kami sama-sama di semester akhir kuliah dan Laura baru menginjak semester 4. Tapi itu sudah masa lalu, lagipula Sulai sudah menikah dan punya dua anak.

Saya tidak pernah ambil pusing dengan hubungan mereka, Laura memang adik kelas saya di jurusan sastra, tapi kami tidak dekat. Lagipula, saya kira, Sulai terlalu imajiner dalam menggambarkan kedekatannya dengan Laura. Misalnya ia pernah sekali waktu bilang begini, “Kau tahu, Saya dan Laura sesungguhnya sudah memiliki ikatan tak terduga, dan di realitas lain, kami baru saja memiliki anak.”

Setelah itu, tak ada lagi obrolan soal Laura. Saya dan Sulai juga jarang bertemu pasca lulus. Hingga pada akhirnya kami bertemu kembali dalam satu pekerjaan untuk festival sastra internasional di Jakarta dan tergabung dalam tim riset untuk pameran buku sastra Melayu-Tionghoa abad 18. Setelah itu, kami jadi seperti sedia kala, apalagi pasca saya cerita soal rencana mendirikan rumah penerbitan bernama Anagram padanya.

Pada awal Agustus 2045, setalah saya rampung membaca antologi garapan Sulai dan meminta ia untuk menambahkan dan koreksi beberapa bagian, terlebih soal beberapa nama penyair perempuan yang menurut saya layak disebutkan sebagai tonggak pencapaian terpandang dalam catatan penyunting—misal, Intan Parangtritis, Cyntha Utami, Asmara Michellia, Rosa Nadia, dll—hingga jumlah penyair perempuan dan penyair queer yang cukup timpang di bagian isi. Sulai menolak saran saya, ia bilang, itu adalah bagian Laura, sekaligus sebagai kado perpisahan. Sulai menambahkan, bahwa di realitas yang lain dirinya dan Laura sudah pisah ranjang dan di realitas ini, kritik dari Laura di epilog antologi garapannya bisa jadi surat perpisahan paling mantap. Anjing memang orang ini, pikir saya.

Dua pekan setelah Indonesia genap seabad merayakan kemerdekaanya, seharusnya buku garapan Sulai ini sudah masuk tahap proofreading dan sudah bisa dipasarkan paruh September mendatang. Sayangnya hal itu gagal karena Epilog dari Laura tak kunjung selesai. Saya bilang bahwa jika ia bersikeras menunggu epilog dari Laura, kemungkinan bukunya akan saya geser dari naskah proritas, apalagi saya juga masih harus mengurus tiga naskah lain yang dijadwalkan cetak pada September dan dua naskah lagi pada bulan Oktober. Sulai bilang, itu bukan masalah—tanpa merendahkan kemampuan saya untuk menggantikan Laura—malahan ia berterimakasih banyak karena saya telah sudi melihat nilai dari garapannya dan meminta agar nama saya dicantumkan pada bagian catatan penyunting, yang kelak ia ubah menjadi Dari Dapur Penyunting.

1 November 2045, Sulai memberi kabar pada saya bahwa Epilog yang ditunggu-tunggu akhirnya sampai di surelnya dan mengabari akan segera mengirimnya. Seperti dugaan saya. Laura menghajar habis-habisan antologi garapan Sulai itu dalam Esai yang ia beri judul Logika Falus, Peta Buta Sastra dan Ambisi Kanon Sulaiman H.. Sulai bilang bahwa saya tidak boleh mengeditnya epilog Laura kecuali masalah salah ketik atau soal anakroni. Ia juga rela tidak mendapat royalti, mau menanggung biaya cetak sendiri jika saya tak bersedia menerbitkannya, dan meminta agar saya tidak menjualnya secara digital. Ini adalah permintaan yang kelewat ganjil.

Pertama, penerbit jenis mana yang mau menerbitkan buku dengan menyertakan kritik yang menghancurkan isi buku tersebut? Kedua, sudah tahu bahwa oplah buku fisik Anagram hanya sedikit dan dicetak sesuai pesanan saja—yang kebanyakan pembelinya orang-orang tua yang masih meromantisasi harum bubur kayu—ini malah mau sebaliknya. Sulai, memang tidak pernah lelah bikin saya habis akal.

Pada akhirnya, saya mengiyakan seluruh permintaan Sulai—sekaligus meyakinkan bahwa saya akan tetap mencetaknya—dengan satu syarat. Yakni memperbolehkan saya mempublikasi catatan pra-cetak ke internet, kalau boleh jujur, ini hanya gertak sambal saja. Apalagi Sulai tahu betul bahwa catatan pra-cetak yang biasa saya buat berisi segala hal yang terjadi sepanjang proses penerbitan, catatan yang biasanya jadi konsumsi pribadi saya saja karena menyangkut banyak hal, dari yang ajaib hingga aib, kisah sedih hingga kabar baik, semua tercatat selama naskah saya terima hingga buku terpublikasi.

Saya kira itu akan membuat Sulai gentar, maklum saja, sekali waktu ia pernah membaca catatan pra-cetak saya untuk buku puisi Safaruji Hamzah Hutari, penyair yang digadang-gadang sebagai masa depan sastra Indonesia, SHH sebagai penerus SDD (Sutardji Djoko Damono). Jika catatan pra-cetak itu keluar, mungkin citra SHH yang susah payah dibangun bisa hancur lebur karena beberapa kedunguan yang ia lakukan. Tapi memang dasar keras kepala, Sulai malah setuju.

Ia bilang, semua orang sudah tahu tindak tanduk ganjilnya, kalaupun saya membahas soal Laura, hal itu juga bukan masalah sama sekali. Malahan ia mengucap terimakasih karena saya tetap akan menerbitkannya. Hal ini bikin saya gentar, dan pada akhirnya mengambil sikap sebagaimana biasa, bahwa catatan pra-cetak hanya untuk konsumsi pribadi saya saja dan tak akan pernah saya sebar. Nyatanya, saya kena tipu oleh wajahnya yang tampak serius. Setelah saya berjanji tidak akan mempublikasi catatan pra-cetak, Sulai mengucap syukur. Ia mengaku khawatir juga jika catatan yang saya buat akan bikin Laura sakit hati, apalagi jika saya menuliskan sesuatu yang dengan berlebihan. Belum lagi motif utama Sulai memang bukan seperti yang saya tangkap, melainkan ia memberi ruang tantangan pada dirinya apakah ia siap menerima kritik. Alasannya, selama ini ia keasyikan menjadi kritikus dan hakim bagi tulisan-tulisan sejarah yang biasa di kerjakan di laman ahistori.

Ditambah lagi, ia cukup percaya diri untuk tetap memasukan kritik tajam dari Laura tersebut menjadi bagian dari buku antologi suntingannya. Hal yang menjadi bumerang baginya sekaligus bikin saya ingkar janji, karena dengan pengakuan Sulai barusan, saya jadi punya alasan untuk menerbitkan juga buku antolgi versi digitalnya.

17 Desember 2045, Setelah menerima bukti cetak Terdepan, Terluar, Tertinggal: Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945–2045 suntingannya. Sulai menelpon saya, pertama ia mengumpat karena saya menjual bukan hanya buku fisik. Setelah saya beri alasan dan ia berterima, ia melanjutkan umpatan kepada saya yang menurutnya bisa mengambil kebijaksanaan di antara culas dan cerdas. Alasannya, di antara bejibun kritik Laura, saya malah ambil bagian yang baik sebagai blurb dan bikin bukunya memiliki kemungkinan untuk laku. Begitu.

21 Desember 2045
Kalibaru Timur IV. DA.

______

*catatan. Ini adalah karya fiksi sebagai respon atas buku Terdepan, Terluar, Tertinggal: Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945–2045 karya Martin Suryajaya (Anagram. 2020).

--

--

Doni Ahmadi

A writer and editor. His Book, short stories “Pengarang Dodit” (2019).