Cerita Sebelum Pengarang Dodit dan Bagaimana Saya Menulis Cerita Pendek
/1/
Jika ada hal yang paling tidak penting untuk diceritakan, maka hal itu adalah cerita tentang saya yang tidak pernah membayangkan menjadi seorang penulis, terlebih penulis fiksi. Dengan pengalaman masa kecil yang jauh dari kegiatan membaca, tidak pernah diperdengarkan dongeng sebelum tidur, adalah mustahil bagi saya untuk memiliki cita-cita untuk menjadi seorang penulis fiksi. Tapi, seperti ungkapan lama paling klasik di muka bumi, “masa depan memang tidak pernah bisa ditebak.”
Saya pikir hal paling absurd bagi pemuda yang malas sekali membaca buku semasa sekolah, pulang kelewat larut untuk nongkrong, ikut tawuran dan lebih sering menghabiskan masa muda di studio musik, adalah menjadi mahasiswa sastra. Dan, begitulah. Kuliah di jurusan sastra adalah hal yang tak pernah saya bayangkan, selain memiliki teman yang ajaib dan lingkungan yang tepat untuk memasuki dunia baru.
Kita boleh percaya bahwa para penulis prosa (baik novel atapun cerita pendek) sebenarnya berawal dari penulis sajak atau penyair yang gagal saja belum. Dan begitulah saya, gagal menulis sajak dan beralih ke prosa. Tentang bagaimana saya menemukan medium baru berupa cerita pendek, singkat saja. Ilham itu datang saat membaca pengantar yang ditulis oleh penulis yang belum pernah habis saya baca buku-bukunya, adalah Leila Chudori, ini tulisan beliau yang saya amini, “Cerita pendek menyediakan ruang yang sempit untuk ledakan yang dahsyat. Cerita pendek sama sekali tidak mengizinkan penulisnya untuk ngoceh, ngalor ngidul, atau seenaknya menghabiskan hurif, kata, dan kertas untuk memamerkan kekenesan kosakata yang beragam.”
Hal itu senada dengan apa yang disampaikan satu lagi penulis yang juga bukunya tak pernah saya habiskan, adalah dosen saya sendiri, Helvi Tiana, “Hindarilah akrobatik kata,” katanya. Entah itu dalam prosa atau puisi. Saya heran betul, mengapa penulis-penulis yang karyanya saya jarang baca, bisa saya tulis dalam catatan ini. Entahlah.
Dan memang begitu, cerita pendek adalah soal efektifitas penulisnya memaksimalkan ide cerita dalam bingkai yang singkat, tidak terlalu banyak menceritakan hal yang tidak perlu dan musuhnya hanya satu dan paling utama, keasyikan bercerita. Saya bersyukur tidak pernah merasa kalah melawan hal itu, setidaknya itu menurut saya, saya tidak tahu menurut pembaca. Itu soal lain.
Bagi saya, cerita pendek adalah ruang yang nyaman, bahkan kelewat nyaman. Nyaman yang saya maksud adalah, sangat pas; pas sebagai medium untuk sesuatu yang hendak saya tulis. Karena jika tidak pas, tulisan itu takkan selesai atau hanya menjadi draft. Kebetulan lain — yang akhirnya membuat saya terus memproduksi cerita pendek demi cerita pendek, adalah ruang yang tepat. Bertemu dan tergabung dalam Komunitas Tembok adalah biang keladinya. Saya tidak tahu, mungkin, atau barangkali bisa saya pastikan, jika tidak bergabung dengan mereka dan hanya mengejar prestasi (semisal menjadi mahasiswa berprestasi, mengejar IPK tinggi, dan lulus tiga setengah tahun), mungkin saya hanya menghasilkan satu cerita pendek saja seumur hidup. Karena, seingat saya, semua mahasiswa yang pernah bergabung dengan Tembok paling tidak pernah menghasilkan satu cerita pendek untuk dibahas, baik hanya buat tugas atau kesenangan masing-masing. Dan cerita pendek itu pasti dibincangkan, mereka tidak mengenal “ah, karya tugas, gak usah dibahas.” Tidak. Tembok hanya suka mendiskusikan cerpen, untuk apapun cerpen itu di buat. Saya pernah berkesimpulan, bahwa saya menulis cerpen hanya — selain untuk buang-buang waktu, juga — untuk dikata-katai dalam forum yang kami sebut: Sidang Karya. Karena memang, tidak ada karya bagus di mata komunitas ini, selalu saja ada kurangnya dan hal itulah yang membuat banyak calon penulis muda dari jurusan sastra Indonesia (setidaknya dari angkatan 2011–2014) patah semangat dan tidak menulis fiksi lagi.
Saya adalah satu di antaranya, pernah saya tidak lagi menulis cerpen dan lebih suka membaca dan menulis esai, tapi ada satu hal yang tak pernah saya lewatkan, Sidang Karya. Karena memang, Sidang Karya juga tidak pernah membatasi pesertanya, siapa saja boleh ikut, dan syaratnya hanya satu: membaca karya (cerpen) yang akan disidangkan. Sampai pada suatu ketika, saat Komunitas Tembok membuat antologi pertamanya (di mana saya tidak ikut terlibat) hingga terbit, rasa untuk membuat cerpen kembali muncul dan perasaan putus asa karena tidak pernah menulis bagus, pergi sejauh-jauhnya.
Saya mulai kembali menulis dan menulis, dan hasilnya adalah Pengarang Dodit ini. Bisa dibilang, Pengarang Dodit adalah dokumentasi dari fase ke dua saya dalam proses menulis cerita pendek. Segala cerita yang terimpun dalam kumpulan cerita ini memang tidak semuanya menghimpun cerita yang saya tulis, selain banyak kisah yang menurut saya tidak layak, ada juga karya yang begitu personal, alias cerita kamar yang hanya diketahui orang-orang terdekat saya, atau cerita yang dibuat karena terlalu genit terhadap satu hal, dan semacamnya, singkatnya, buruk saja belum.
Fase selanjutnya adalah Koran Tempo, ini adalah kisah yang lucu, setidaknya bagi saya. Sewaktu menemani salah seorang kawan yang esok harinya melakukan sidang tesis, saya bertandang ke Depok. Sebelum kami menuju indekosnya, kami lebih dulu mengunjungi kosan Fariq (teman dari kawan saya itu). Dan sampai pada suatu obrolan, Fariq memberi tahu bahwa ia membaca cerpen yang ditulis anak UNJ di Koran Tempo. Saya dan teman saya bingung, siapakah penulis UNJ itu? Sumpah, ini misterius betul, pasalnya saya dan kawan saya mengetahui siapa-siapa saja yang menulis fiksi di kampus, Fariq juga sudah kadung lupa siapa namanya ketika kami tanya-tanyai, sampai akhirnya saya menganggap itu angin lalu dan memulai obrolan lain. Hingga pada suatu waktu, pacar saya mengabari bahwa ada uang masuk ke rekeningnya. Dan saya mulai mencari nama saya sendiri (ditambah tulisan “cerpen”) di mesin pencarian.
Kesenangan pertama adalah mengetahui bahwa cerita pendek saya tidak hanya di baca teman-teman Komunitas Tembok, dan kesenangan kedua adalah honornya. Karena hal itu, saya sempat memiliki cita-cita untuk menulis banyak cerita untuk dikirim ke media-media, cita-cita yang hanya seumur jagung, tentu. Pertama saya tidak cukup produktif menulis fiksi, saya lebih suka membaca fiksi dan hanya suka menulis ketika ingin. Kedua, saya juga lebih dulu terdoktrin Saut Situmorang soal sastra Koran dan jadi malas-malasan mengirim karya. Ketiga, Sidang Karya juga sudah tidak seintens dulu. Beberapa anggota aktifnya sudah lulus dan memiliki kerjaan lain, sedang sisanya dihajar kewajiban untuk lulus. Jujur saja, hal itu cukup membuat saya patah hati, karena begini. Alasan saya menulis (cerpen) adalah untuk di baca oleh kawan-kawan saya itu, dan ketika mereka tidak ada, saya hampir kehilangan alasan untuk menulis.
Tetapi, karena saya punya alasan kedua, saya tetap menulis, tetap di muat media, hingga akhirnya terbit menjadi satu buku kumpulan cerita. Meskipun begitu, saya merasa ada hal yang hilang saat tulisan saya selesai, yakni tidak lebih dulu dibaca teman-teman saya yang menyebalkan di Komunitas Tembok itu. Dan jika hanya ada satu ucapan terima kasih, maka itu adalah untuk komunitas penulis di Tembok itu, kelompok yang menamai dirinya kelompok menulis uka apais itu. Karena sebelum kepada pembaca yang lain, Pengarang Dodit adalah untuk mereka.
/2/
Dalam acara pembukaan Atelir Ceremai ini, saya diminta menceritakan bagaimana saya menulis, begitu setidaknya yang saya tangkap dari permintaan Hamzah. Semoga saya tidak keliru.
Begini, hal yang membuat saya masih menulis adalah dua hal: ingin dibaca dan ingin melakukan satu hal yang menurut saya menyenangkan (Jadi, saat saya kehilangan alasan pertama, saya masih punya alasan kedua untuk tetap menulis.) Oh iya, saya harus beri tahu bahwa saya tidak menulis untuk hal lain seperti (1) menyuarakan hal yang tidak bisa bersuara, (2) memberikan ide dan pesan moral yang harus dipercaya pembaca, dan (3) membuat pembaca harus terkesan dengan apa yang saya tulis. Hal semacam itu sudah saya enyahkan jauh-jauh. Saya tidak ingin terbeban dengan semua itu, singkatnya, saya hanya menulis apa yang saya suka dan saya ingin. Karena saya yakin betul, menulis hal yang tidak menyenangkan hati adalah satu diantara sekian banyak hal buruk.
Selain itu, bagi saya proses menulis fiksi juga merupakan hal yang menyenangkan. Biasanya, sebelum saya memulai menulis fiksi, hal yang saya lakukan adalah lebih dulu menyelesaikan cerita itu dalam kepala saya. Percayalah, berimajinasi, membayangkan kisah-kisah, membuat semesta di kepala adalah hal yang menyenangkan. (Hal ini juga sekaligus membuat saya nostalgia ke masa kecil. Dulu kebiasan ini juga sudah saya lakukan, sebelum saya menjadi dalang — diksi itu muncul dari ibu saya, ibu sering kali menyebut saya sebagai dalang ketika saya asyik-masyuk main robot-robotan di rumah — sepulang sekolah, saya lebih dulu memikirkan kisah apa yang akan saya mainkan bersama mainan-mainan saya.)
Saat cerita itu benar-benar sudah rampung di kepala, barulah saya menulis. Soal bagaimana nanti jalan cerita yang saya tulis meleset dengan apa yang ada di kepala saya dan apa yang sudah saya konsepkan, itu soal lain. Karena hal yang terpenting dalam cerita adalah, bagaimana cerita itu diceritakan dengan baik dan berakhir. Selain itu ada juga masalah lain: ide dan gagasan. Sejujurnya ide dan gagasan itu datang sekonyong-sekonyong saja. Penyebabnya banyak, semisal mendapat premis-premis aneh ditengah jalan, pengaruh pembacaan atau tontonan, atau pernyataan orang yang kelewat menarik jika dituliskan.
Sesederhana itulah saya menulis, dan terkesan tidak ada yang spesial dari kerja menulis model begitu. Namun, setidaknya itu sudah cukup untuk menyengkan diri saya. Lagipula, sebelum menyenangkan orang lain, bukankah lebih baik untuk menyenangkan diri sendiri? Begitu.
Rawamangun, Juli, 2019
*Tulisan ini dibuat untuk acara diskusi buku “Pengarang Dodit” dalam peresmian ruang kolektif, Atelir Ceremai, 26 Juli 2019.