Karya Sastra dan Moralitas

Doni Ahmadi
5 min readMay 1, 2020
ilustrasi: PSMag.com

/1/

Saya rasa kita sudah memahami definisi dari karya sastra tanpa perlu saya jelaskan atau definisikan ulang. Karya sastra bisa berupa Prosa, Puisi, Esai maupun Naskah Drama hasil ciptaan seorang pengarang, penyair, penulis dan berbagai sebutan lainnya.

Selesai dengan karya sastra, mari masuk ke apa itu moralitas. Moralitas sendiri adalah suatu ilmu kajian filsafat yang dikenal dengan nama Etika. Moralitas, seperti halnya etika, dari awal kemunculannya hingga kini nyatanya masihlah belum mencapai satu kesimpulan final. Etika, sebelum pada perdebatannya yang alot dan nyaris tidak menemui titik temu itu, pada awalnya hanya berkutat di dua soal, yakni pertanyaan tentang hakikat baik (good) dan jahat (evil) secara an sich sebagai nilai dari suatu tindakan, dan hal semacam itu hanya menghasilkan aliran-aliran penalaran normatif yang selalu kaku. Hal ini jauh berbeda dengan apa yang kemudian ditawarkan oleh filsuf sohor asal Jerman, Friedrich Nietzsche. Dalam terminologinya Nietzsche tidak hanya diisi oleh persoalan baik-jahat, melainkan sebagai seluruh persoalan yang memiliki kaitan dengan keberdayaan dan ketakberdayan subjek untuk mengutuhkan dan mendominasi hidupnya sendiri (dalam Setyo Wibowo, 2004). Hal ini pun ia tuliskan dalam salah satu bukunya — On the Genealogy of Morals — yang mengurai konsep genealogi ini dimaksudkan sebagai pendekatan psikologis atas moral dalam rangka untuk kembali mempertanyakan kembali nilai-nilai dan mengevaluasinya.

Asumsi awal Nietzsche soal moralitas adalah bahwa setiap manusia yang lahir, secara otomatis akan membawa kesadaran moral untuk mematuhi. Namun kesadaran bawaan ini bukanlah ide bawaan, di mana individu, sebagai subjek, dapat memiliki kesadaran berikut karena terbentuk dari konstuksi sosial — moralitas kawanan — yang ada di sekeliling individu. Hal yang menyebabkan tiap individu ini pada akhirnya menerima yang sedemikian itu, yang menurut Nietzsche sebagai cara manusia untuk memenuhi kebutuhan dirinya sebagai suatu individu yang utuh.

Dalam penalaran moralitas kawanan ini, hal yang terjadi selanjutnya adalah konsep moral (baik) dan immoral (jahat) ditentukan sebagai ‘moralitas adat/tradisi’, logika semacam inilah yang membuat segala hal menjadi begitu sederhana — padahal tidak. Di mana segala hal yang tidak diperintahkan tradisi diartikan tidak memiliki moralitas. Dengan kata lain, seseorang yang pada akhirnya memilih untuk bebas bisa diartikan sebagai seorang yang immoral karena tidak mengikuti tradisi. Hal yang juga membuat seorang individu bebas akan dianggap berbahaya.

Sedikit contoh: (1) terdapat sebuah masyarakat yang berpegang teguh bahwa orang yang baik dan bermoral adalah orang yang tidak memiliki tato dan tidak merokok. (2) Lalu dalam masyarakat tersebut terdapat individu yang memiliki tato dan merokok. (3) Kita tentu sudah dapat menduga apa yang akan dihadapkan oleh individu semacam itu di lingkungannya, dari dianggap immoral hingga mendapat pengecaman dan sebagainya. (4) Lalu, seiring waktu berjalan, individu bertato dan perokok itu membuktikan, bahwa ia tidak ada bedanya dengan orang yang tidak merokok dan bertato, lebih dari itu, bahkan ia mampu bermanfaat bagi sesama. (5) Hasilnya, masyarakat tersebut tidak lagi menganggap miring si individu dan ia kembali diterima di masyarakat yang sebelumnya menganggap ia immoral.

Hal-hal semacam inilah yang membuat perdebatan soal moral tidak kunjung mencapai final dan membuat Nietzsche menegaskan bahwa moralitas bukanlah produk abadi dari alasan a priori, melainkan sebuah fenomena sosial, yang selalu berubah seiring waktu dengan perkembangan sejarah masyarakat.

/2/

Subagio Sastrowardoyo, pernah menulis begini: Sastra selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih luas daripada yang bersifat estetik saja. Sastra selalu melibatkan pikiran dan kehidupan sosial, moral, psikologi, dan agama. Berbagai segi kehidupan itu mengisi dunia di dalam karya sastra.

Dari penjelasan Subagio barusan, tentu kita bisa sepakat bahwa karya sastra tentulah memiliki relasi dengan moralitas. Yang dalam hal ini merupakan moralitas bawaan dari individu pembuat karya sastra tersebut — yakni pengarang, penyair, penulis dan berbagai sebutan lainnya.

Hal ini bisa tercermin jika kita mengamati sejarah sastra kita di masa lampau (dari era Balai Pustaka, era Lembaga Kebudayaan Rakyat, hingga era Forum Lingkar Pena), di mana karya sastra yang dipandang baik adalah karya sastra yang bergizi, dalam artian menghibur dan bermanfaat (dulce et etile) atau penuh pesan moral. Inilah yang membuat begitu banyaknya pesan moral dalam karya-karya sastra Indonesia (sedikit contoh di masa lampau misalnya, Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya, dan semacamnya), banyaknya pepatah-petitih, dan memiliki kecendrungan teks sastra sebagai medan dakwah, hal yang secara otomatis menjadikan karya sastra semacam ini dicap sebagai sastra tinggi. Sedangkan karya sastra yang tidak memiliki hal ini — tidak memuat pesan moral dan hanya bertujuan sebagai hiburan semata — kerap dianggap sebagai bukan karya sastra, karya sastra yang kontra-revolusioner, karya teenlit/ciklit dan semacamnya.

Anggapan ini tentu masih bisa diperdebatkan, bukan soal benar-salah, baik-buruk, dan hal-hal yang ujung-ujungnya klise. Namun kembali lagi kepada pegangan moral masing-masing pembaca, masyarakat, hingga penulisnya.

Pemahaman bahwa karya sastra harus memerhatikan antara bentuk dan isi, dan jangan mengabaikan salah satunya bisa saja dianggap benar. Atau anggapan bahwa karya sastra yang baik (dalam hal prosa) adalah ketika pengarangnya mampu bercerita dengan baik, dengan bentuk yang macam-macam tanpa perlu memberi petuah atau berdakwah kepada pembacanya juga tidak bisa dianggap salah atau keliru.

Pemahaman bahwa ‘karya sastra haruslah mewakili suara dan menjadi representasi masyarakat’, maupun anggapan lainnya yang berpaham bahwa ‘karya sastra haruslah berdiri sendiri karena pada dasarnya seni untuk seni’ dan bukan untuk masyarakat, sama sekali tidak bisa diputuskan mana yang lebih baik dan mana yang sebaliknya.

Karya-karya Ernest Hemingway (misalnya The Old Man and The Sea) bisa saja dianggap karya yang buruk karena sama sekali tidak puitis, menggunakan bahasa yang serba akas dan tidak menggunakan satupun kata yang membuat pembacanya membuka kamus. Begitu pula karya-karya Wiliam Faulkner (misal, The Sound and The Fury) yang juga bisa kita anggap tidak bagus-bagus amat karena terlalu bergenit-genit dalam berbahasa dan membuat pembaca tidak dapat menikmati cerita karena harus bolak-balik kamus. Padahal dua masalah ini hanya sesederhana soal selera. Toh kedua-duanya sama-sama membuat penulisnya meraih nobel sastra.

Moralitas, pada akhirnya hanya menghasilkan perdebatan semacam itu, persis seperti apa yang dikatakan Nietzsche, sebagai fenomena sosial yang selalu berubah seiring waktu dengan perkembangan sejarah masyarakat, yang dalam hal ini perkembangan selera masyarakat sastra itu sendiri.

Dan jika kita mendengar apa yang disampaikan Seno Gumira Ajidarma pada pidato kebudayaannya pada 10 November 2019 lalu, ia memberi gambaran yang apik soal moralitas yang bukan hanya soal baik-buruk: Perdebatan tentang berhijab atau takberhijab seperti takkan pernah mencapai hasil akhir, regulasi bahwa tanpa pandang bulu pengendara motor wajib menggunakan helm sudah final dan disepakati semua golongan — tetapi jika dikatakan bahwa peraturan lalu lintas lebih dituruti daripada peraturan agama tentunya bisa menyinggung perasaan.

Pada akhirnya, moralitas hanya menghasilkan hal-hal semacam itu. Karena — meminjam frasa Seno — bersama kebenaran klise (moral dan immoral), segala hal terlalu sering terpahami sebagai ilusi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

_______

Sumber Bacaan

Ernest Hemingway, Orang Tua dan Laut. (KPG, 2016)

Friedrich Nietzsche, Beyond God and Evil. (Ikon Teralitera, 2002)

________, Genealogi Moral. (Jalasutra, 2001)

Seno Gumira Ajidarma, Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi. (DKJ. 2019)

Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche. (Galang Press, 2004)

Subagio Sastrowardoyo, Sekilas Soal Sastra dan Budaya. (Balai Pustaka. 1992)

William Faulkner, The Sound and the Fury. (Serambi, 2014)

*Tulisan ini dipublikasikan pertama kali dalam diskusi sastra “Relasi Sastra dan Moralitas” di Universitas Pamulang, 4 Desember 2019.

--

--

Doni Ahmadi

A writer and editor. His Book, short stories “Pengarang Dodit” (2019).