Kehidupan Malam dan Kota: Kelab, Rumah Bordil dan Politik di Jakarta [bagian 1]

Doni Ahmadi
11 min readJun 15, 2020
foto: citraindonesia.com

11.30 Malam, di tengah pusat prostitusi Kalijodo. Setiba di sana, ditemani oleh dua petugas polisi, saya merasa sesak dengan akivitas di tempat itu: Lahan parkir motor yang luas, jalan setapak yang dihimpit dua sisi rumah bordil, kelab malam yang luas dengan kerumunan pelacur. Narasumber saya pertama-tama membawa saya ke tempat biasa mereka sebelum bertugas —melakukan penggerebekan. Tak lama terdengar suara dari walkie-talkie. Saya tidak memahami apa yang dikatakan, namun teman saya segera menjelaskan bahwa rekan mereka akan menyerbu bagian selatan kompleks. Lalu meraka menyarakan teman germo-nya untuk tidak membuka rumah bordilnya terlebih dahulu. Kami menunggu sekitar 15 menit. Dan ketika pengerebekan itu berakhir, rumah bordil kecil itu baru dibuka. (JT, catatan lapangan)

JT* (Jérôme Tadié)

Kalijodo adalah satu dari sekian kompleks prostitusi tertua di Jakarta. Hal ini tercatat sejak masa kolonial meski tanpa status hukum. Namun kompleks ini telah beroperasi di malam hari selama lebih dari satu abad, berdiri di masa remang-remang, masa-masa pelanggaran, meskipun kegiatan siang hari berjalan normal dan terus berlanjut. Seperti kebanyakan kota besar — dengan 8,5 juta penduduk yang menjadi batas administrasi Jakarta, lalu melonjak menjadi 25 juta ketika mempertimbangkan aglomerasi — Jakarta melayani kebutuhan penduduknya hampir 24 jam sehari dan memiliki kehidupan malam yang berkembang pesat. Bersama penjaja seks terselubung, toko serba ada telah dibuka sejak tahun 2000-an di sebagian besar wilayah kota; warung makanan yang menawarkan berbagai hidangan yang dimasak; pasar malam memenuhi kebutuhan hari-hari indah dan kota seperti tidak pernah tidur. Kegiatan malam menciptakan jenis kota yang berbeda, di mana beberapa kegiatan — semisal ritel — tampak menyusut ke zona-zona tertentu saja, sedangkan yang lain — industri hiburan dan seks — semakin terlihat jelas.

Malam di Jakarta

Di Indonesia, siang dan malam dibagi sama rata mengikuti siklus regular. Karena negara ini terletak di khatulistiwa, matahari akan terbit sekitar pukul enam pagi dan terbenam sekitar pukul enam sore. Setiap hari. Dalam siklus ini, berkat orang-orang yang menghidupinya, kegelapan pada akhirnya memiliki hukumnya sendiri. Di dalam keluarga, larangan atau pembatasan diberlakukan: anak-anak diberitahu untuk tidak bermain keluar setelah magrib, wanita tidak boleh menjahit, dan semua orang diingatkan untuk tidak berdiri di depan pintu yang terbuka atau bertengkar satu sama lain. Malam dianggap sebagai kekuatan yang cukup untuk menjadi penyebab kemalangan bagi banyak orang, diperkuat oleh kegelapan malam yang muncul. Kekuatan ini dipersonifikasikan dalam banyak bentuk, gambar maupun suara, di seluruh negeri, terlepas dari lokasi atau kelompok etnis. Di Jakarta, cerita-cerita tentang makhluk malam — hantu — terus diceritakan meskipun kota ini sedang dipaksa tumbuh menjadi kota modern.

Para ibu, misalnya, memberi tahu anak-anak mereka tentang Kuntilanak, hantu menakutkan yang muncul dalam gelap untuk menculik anak-anak kecil yang tidak patuh.[1] Bahkan di kota-kota besar, pintu depan dan belakang serta gorden harus ditutup dan ditarik segera setelah malam tiba, untuk mencegah roh-roh jahat memasuki rumah atau menculik anggota keluarga (Geertz, 1960). Bagi anak-anak, kegelapan, dilambangkan oleh suatu tempat atau waktu, dan dikaitkan dengan kisah penculikan ini. Kisah penculikan ini direproduksi terus-menerus sebagai bagian dari pendidikan keluarga untuk memaksa anak-anak tinggal di rumah pada malam hari (Geertz, 1961). Itu menjadi landasan penahan untuk mewakili kesucian malam. Malam karenanya memiliki arti yang berbeda. Dan itu dianggap sebagai saat yang tepat untuk mengasingkan diri, waktu saat seseorang harus sadar dan waspada, yang berarti menuju ke siklus hidup baru setiap harinya. Waktu malam dianggap sebagai kelanjutan dari siang hari. Baik siang dan malam, menentukan bagaimana pandangan dunia seseorang dibentuk, ditentang, dibangun kembali dan dipulihkan. Mereka tidak berada dalam oposisi biner melainkan bagian dari siklus yang sama.

Dengan demikian malam dapat berarti bahwa seseorang harus berhati-hati, bukan hanya kepada makhluk malam yang berlimpah (dari dewa-dewa hingga roh halus) tetapi juga untuk diri sendiri. Ini adalah momen yang aneh ketika sebuah keluarga berfokus pada rumah dan dari sanalah visi dan akar dunia berasal (Permanadeli, 2000). Ini sekaligus mewakili zona abu-abu, ditandai oleh aturan, kode, dan sikap yang berbeda dari siang hari. Dengan demikian kisah pengorganisasian kota Indonesia malam hari tidak hanya merupakan salah satu kontrol atas waktu-waktu yang menakutkan dan kurang dikenal, tetapi tentang bagaimana kontrol memang ditempuh dan diperoleh di lingkungan yang ironisnya penting dan juga mendapat sedikit perhatian: kehidupan di malam hari.

Deskripsi Jakarta memberikan perspektif berbeda tentang kota pada malam hari, menggarisbawahi hubungan antara waktu dan ruang di kota metropolitan. Malam adalah momen ketika tidak ada seorang pun di luar rumah dan menjadi periode yang penting bagi kehidupan sehari-hari di kota. Malam memunculkan isu-isu khusus: itu dapat dilihat sebagai momen penyimpangan/pelanggaran, ketika tidak seorang pun berada di arena publik, suatu waktu yang sakral ketika nilai-nilai moral harus dipulihkan. Di sisi lain, ini juga merupakan kelanjutan dari siang hari ketika pemerintahan kota masih memberlakukan aturan tata kota dari mulai transportasi ke pasar. Ketegangan antara malam yang tidak jelas, terkadang menakutkan dan memberi fantasi yang pas untuk momen-momen kejahatan, waktu yang diatur, dikendalikan dengan baik, yang peraturannya hampir tidak ada bedanya dengan siang hari, justru memberikan substansi berbeda pada kehidupan malam hari.

Dalam konteks seperti itu, sektor seks dan rekreasi malam hari — didefinisikan dengan cara sempit di mana sebagian besar dimeriahkan oleh diskotek-diskotek resmi dan terselubung, kelab malam, hingga kompleks pelacuran — sangat penting dalam dua lipatan kisah ini: keduanya adalah tempat pelanggaran dilakukan dan juga menjadi bagian ekonomi kota-kota global. Argumen utama kami adalah bahwa di mana sektor kelab malam diorganisir dan dikendalikan dengan cara ‘modern’ yang secara ketat menyesuaikan kebijakan seperti di dunia Barat, makna dan kontrol yang efektif dari tempat tersebut pada akhirnya mencerminkan cerita yang berbeda. Dan memang sudah menjadi sejarahnya, seperti yang akan ditunjukkan pada bagian pertama, terkait dengan masa penjajahan, westernisasi dan modernisasi Batavia dan Jakarta dengan cara-cara internasional. Di sisi lain, evolusi ini mencerminkan jenis adaptasi dan kontrol yang berbeda, bersifat lokal, yakni pengaturan terselubung dengan pemerintahan, di mana adaptasi terus-menerus terhadap pergeseran peraturan resmi dan tata kelola organik merupakan hal yang utama. Cara resmi dan tidak resmi dalam tata kelola dan aturan malam memiliki hubungan yang erat dan konstitutif dari manajemen sektor ini.

Soal Aktivitas Malam

Beberapa penulis menggambarkan ketegangan antara kesinambungan dan ketidakharmonisan yang disebabkan oleh waktu malam, menunjukkan keaslian kota akan tergambar pada malam hari. Dari sudut pandang historis (Cabantous, 2009; Delattre, 2003; Farge, 1986; Melbin, 1987; Palmer, 2000), penelitian ini telah menunjukkan kekhawatirannya, baik penduduk kota dan pemerintah, terhadap waktu malam, yang pada akhirnya berujung dengan aturan dan pengendalikan melalui teknologi dan pencahayaan (Deleuil, 1994). Jenis aturan ini, demikian pendapat para peneliti, bertujuan untuk mengendalikan kelas-kelas populer yang berbahaya (Chevalier, 1958; Hobbs et al., 2003). Dari tambahan perspektif etnografis, penulis lain, baik di Barat maupun di Negara Berkembang, telah mempelajari kekhasan orang malam. Sharman dan Sharman (2008) mengikuti beberapa jenis pekerja malam di New York, dan menunjukkan betapa terputusnya hubungan, waktu yang sempit dan tempat di mana mereka mungkin dapat menemukan diri sendiri; mereka dengan demikian menekankan pentingnya untuk tidak hanya menjadikan aktivitas itu temporer tetapi juga juga harus menjaga ritme (lih. Edensor, 2010). Melihat peran anak jalanan di Antananarivo, Morelle dan Fournet-Gue’rin (2006) menunjukkan perbedaan visi yang dimiliki penduduk kota pada malam hari, dan bagaimana ketiadaan rumah menyebabkan hubungan yang ambivalen dengan kota. Di Singapura, Su-Jan, et al. (2012) mempelajari peran minimarket-minimarket di malam hari, menganalisis bagaimana malam hari memberikan lebih banyak peluang untuk praktik terselubung di kota besar yang terkontrol dengan baik. Studi-studi ini menunjuk pada peran proses kontrol dan pelanggaran yang kurang lebih tak terlihat di kota, di mana malam hari makin memperjelas ketegangan-ketegangan yang saling terkait ini. Mereka tidak hanya menunjukkan bagaimana individu membentuk wilayah nokurnal — tentang bagaimana ini memungkinkan untuk berbeda dari siang hari — tetapi juga peran dari sesuatu yang terselubung/informal, bahkan jika terbatas pada sektor ekonomi informal dalam kasus Singapura.

Dalam perspektif yang berbeda, penulis lain telah menekankan kesinambungan yang menghubungkan ekonomi malam dan siang hari dan pentingnya mengendalikan kegiatan pada malam hari, terutama dengan perdebatan yang terjadi di Inggris, kota 24 jam. Mereka menganalisis cara regenerasi pusat kota dan ekonomi kota, dengan menciptakan peluang kerja baru yang memerlukan ‘kolonisasi ulang’ malam hari (Hae, 2011; Heath, 1997; Roberts dan Turner, 2005; Shaw, 2010). Studi semacam itu terutama berfokus pada studi kasus Eropa Barat atau Amerika Utara, tidak hanya berurusan dengan regenerasi perkotaan, tetapi juga bagaimana gerakan tersebut mengarah pada konsentrasi kapitalistik (Chatterton dan Hollands, 2003; Hobbs et al., 2003). Mereka menggarisbawahi pentingnya kerangka kerja peraturan dalam menciptakan ruang malam (Gwiazdzinski, 2000; Hadfield, 2006). Hadfield (2006), misalnya, mengacu pada pentingnya perubahan dalam peraturan yang menciptakan bentuk baru konsentrasi tempat di jalan raya tempat hiburan tertentu, melalui kebijakan umum dan sistem peradilan yang digunakan sebagai alat untuk kontestasi di Inggris. Masalah-masalah ini juga dapat dikaitkan dengan studi kerja malam yang dihasilkan dari proses globalisasi di negara-negara berkembang. Patel (2010), misalnya, menunjukkan bagaimana pusat outsourcing dan kegiatan outsourcing dalam proses bisnis lainnya di era globalisasi telah mengubah ruang dan waktu kerja bagi perempuan. Studi-studi ini penting, tidak hanya karena mereka menekankan pentingnya politik, spasial dan sosial ekonomi malam hari, tetapi juga karena mereka menggarisbawahi jenis kekuatan formal apa yang membentuk dan mengendalikan kota pada malam hari. Mereka tidak hanya mempertanyakan peran pemerintah tetapi juga pasar dalam konstitusi ruang tersebut. Kebijakan resmi, formal, sangat penting dalam merevitalisasi lingkungan malam hari.

Informalitas dan Kekuasaan

Dalam tulisan ini, kami menilai peran tempat-tempat hiburan malam Jakarta. Tempat-tempat ini mewakili bentuk modernisasi dan adopsi kota dunia berkembang, di era globalisasi. Tetapi, di sisi lain, Jakarta juga menunjukkan berbagai jenis cara dalam mengendalikan dan mengatur malam serta menghasilkan pemahaman yang berbeda dan menunjukan berbagai jenis peraturan di mana seseorang berada. Seperti beberapa penulis yang memosisikan hal ini dalam konteks yang berbeda (Bayat, 1997; Chatterjee, 2004), kami menggarisbawahi pentingnya perjanjian terselubung/informal dalam proses tata kelola, dan menekankan relevansi aturan pada peraturan negara serta agen negara dan kota. Kami berpendapat bahwa, jika beberapa tempat hiburan — serta peraturan resmi yang menyertainya — mirip dengan yang ada di seluruh dunia, mereka akan tetap menghasilkan berbagai jenis wilayah dan hubungan yang berbeda, khususnya dalam konteks Indonesia. Hal ini pada gilirannya berperan signifikan dengan cara-cara kontrol dan tata kelola yang kurang lebih bersifat informal. Pengaturan yang berbeda membentuk berbagai jenis pemerintahan, dan praktik terselubung mendefinisikan ulang kontur kebijakan ‘resmi’, terutama dalam konteks kehidupan malam yang berkembang. Karena itu, informalitas penting tidak hanya di ranah ekonomi, tetapi juga di ranah kebijakan dan tata kelola. Dalam hal ini, Jakarta dan nilai-nilai yang terkait dengan malam, kebijakan dan undang-undang menjadi penting karena menunjuk pada berbagai jenis upaya dan praktik kekuasaan, yang menjadikan elemen-elemen yang digambarkan di sini sebagai cerita Jakarta.

Bagian pertama dari tulisan ini akan menguraikan topografi ekonomi malam hari di Jakarta, menunjukkan bagaimana evolusi tempat mencerminkan pertumbuhan kota besar dan berbagai rezim politik Indonesia. Dalam konteks seperti itu, kehidupan malam mungkin terlihat berkesinambungan dengan ekonomi siang hari. Ini mencerminkan dengan gamblang penetrasi dan perlawanan terhadap modernisasi ibu kota. Dalam konteks ini, berbagai jenis wilayah dan pemahaman diproduksi, keduanya terkait dengan imajinasi kota dan kehidupan malamnya. Pada bagian kedua tulisan, hal ini mengarah ke analisis yang lebih terpusat dari organisasi (dan tidaknya) tempat dan lingkungan di mana mereka terkonsentrasi. Mengingat studi di tempat-tempat malam dan lingkungan malam hari lainnya di dunia Barat, kami ingin menunjukkan bagaimana hal ini berlaku di Indonesia, distrik-distrik malam hari diproduksi, dari kelab hingga aturan jalanan. Dalam produksi seperti itu, hubungan informal antara para pemangku kepentingan yang berbeda merupakan konstitutif dari fungsi dan aturan lingkungan. Bagian ketiga dari tulisan ini kemudian akan menilai fungsi kebijakan yang bertujuan menciptakan ketertiban di kota pada malam hari, menunjukkan bahwa citra ketertiban lebih diutamakan daripada kontrol efektif di kota metropolitan. Dalam konteks seperti itu, moral, modernitas, dan modernisasi muncul sebagai kategori tidak berarti dalam politik kota dan hanya berfungsi untuk menggarisbawahi bahwa kota itu telah berubah.

Pekerjaan ini didasarkan pada kerja lapangan intensif di malam hari. Selama tiga periode, dua bulan pada tiap tahun antara 2010 dan 2012, kami pergi saat malam untuk melakukan pengamatan di seluruh kota, mulai pukul 10 malam sampai fajar. Kami mengunjungi semua pasar yang buka sepanjang malam, kompleks pelacuran dan sebagian besar diskotek. Kami memasuki tempat-tempat itu, berbicara dengan pelanggan dan pekerja, dan juga nongkrong di luar area, melakukan wawancara secara acak. Kami menggunakan pengalaman lama kami nongkrong malam hari di beberapa jenis lingkungan (dari yang paling mewah hingga yang paling populer). Untuk merasa nyaman, kadang-kadang kami menggunakan sepeda motor untuk mencapai tempat-tempat terpencil, kami juga naik angkutan umum langka yang beroperasi di malam hari dan sering mengunjungi pusat transportasi utama. Sepanjang pengamatan kami, kami telah melakukan wawancara yang bersifat rahasia dengan dengan pedagang kaki lima, supir taksi dan bus, pekerja malam, pelanggan serta pemangku kepentingan terselubung yang mencari nafkah dari kontrol jalanan malam hari. Kami juga melakukan lebih dari 20 wawancara resmi, sebagian besar di siang hari, dengan beberapa jenis informan — yang kadang kala menyebabkan kami kurang tidur — seperti perwakilan agen kota, pemilik dan pengelola tempat, hingga beberapa orang tua (baik mantan penjahat maupun penjaga) untuk pendekatan historis,[2] dan polisi. Untuk mendapatkan akses, kami harus menggunakan — hal yang lumrah di Indonesia bahkan untuk urusan izin penelitian resmi — jaringan pribadi dengan pejabat kota (sering kali berpangkat tinggi) untuk dapat diterima oleh para ajudan mereka.[3] Di distrik Tamansari dan Pejagalan, misalnya, kami mengikuti polisi bukan hanya untuk mengenal lingkungan dengan lebih baik, tetapi juga untuk melihat bagaimana polisi menangani wilayah ‘mereka’. Pengalaman-pengalaman ini hanya terjadi sesekali, karena kami berisiko kehilangan ‘netralitas’ kami di mata para pelindung tempat-tempat itu.

Kami juga menemui masalah verifikasi informasi hingga pernyataan yang harus dicek ulang. Ada rumor, khususnya kontrol informal ruang malam yang tengah kami teliti tidak valid. Karena kami menganggap ‘berita’ dan rumor yang belum diverifikasi sebagai bahan penelitian yang kurang sah (Tadié, 2006), akhirnya kami memilih untuk hanya mengutip rumor yang telah masuk ke ruang publik (dari surat kabar hingga jurnal akademik). Mereka telah memperoleh status publik dan diposisikan di lingkungan perkotaan global.

______

[1] Kuntilanak adalah personifikasi dari hantu yang muncul pada malam hari. Mereka ada di beberapa tempat dengan nama-nama yang berbeda. Sebagai misal, di Jakarta Kuntilanak bisa disebut Mak Lampir. Secara umum, mereka diketahui sebagai sesosok perempuan jadi-jadian, dengan lubang di punggungnya. Mereka bisa sangat menarik perhatian sekaligus menakutkan. Apapun nama dan penggambarannya, Kuntilanak sangat suka menculik anak-anak. Geertz, dalam kajiannya tentang masyarakat Jawa, menjelaskan bahwa dalam bahasa Jawa Wewe sebagai istri dari Memedi, sosok yang selalu terlihat membawa anak kecil di selendangnya, seperti seorang ibu manusia pada umumnya (Geertz, 1960:16).

[2] Terlepas dari prostitusi, sektor malam lainnya seperti pasar atau diskotek, sangat sedikit didokumentasikan di Jakarta. Kami pun tidak hanya membaca arsip surat kabar — khususnya untuk tema budaya populer seperti itu, sedikit yang dapat kami temukan — kami juga menggunakan kesaksian lisan.

[3] Setelah kami melakukan penelitian di Jakarta selama lebih dari satu dekade, kami telah menjalin hubungan kepercayaan dengan para pejabat yang, pada saat penelitian ini, telah naik pangkat dan bersedia membantu kami.

***

Tulisan ini merupakan bagian pertama yang saya terjemahkan dari tulisan panjang berjudul Night and the city: Clubs, brothels and politics in Jakarta di Jurnal Urbanstudies, 2014. yang merupakan hasil penelitian Jérôme Tadié (Prancis) dan Risa Permanadelli (Indonesia). Untuk membaca bagian akhirnya, klik ini.

Jérôme Tadié adalah seorang ahli geografi urban, peneliti di Lembaga Riset untuk Pembangunan (IRD) di bawah UMR Migrations et Sociétés (Urmis). Ia telah menerbitkan beberapa buku, salah satunya Les Territoires de la violence à Jakarta (Penerbit Belin) atau Wilayah Kekerasan di Jakarta (Masup Jakarta).

Risa Permanadeli merupakan pendiri dan Direktur Pusat Representasi Sosial , Jakarta-Indonesia, sejak tahun 2005.

--

--

Doni Ahmadi

A writer and editor. His Book, short stories “Pengarang Dodit” (2019).