Kehidupan Malam dan Kota: Kelab, Rumah Bordil, dan Politik di Jakarta [bagian 2]

Doni Ahmadi
16 min readJun 15, 2020
foto: citraindonesia.com

Modernisasi Jakarta?

Di Jakarta, perubahan lokasi kelab malam dan pelacuran mencerminkan sejarah, sejalan dengan pertumbuhan dan politik ibukota. Dengan begitu Jakarta memiliki nilai yang sama dengan kegiatan siang hari. Mereka memiliki sejarah panjang yang bergejolak, modernisasi dan westernisasi kota — yang juga terkait dengan warisan kolonial Belanda serta warisan asing. Mereka berada di garis depan dalam proses internasionalisasi tempat hiburan di Indonesia serta reaksi terhadap gerakan tersebut. Evolusi kemunculan ini tidak hanya menyertai pertumbuhan ibu kota saja, tetapi juga mencerminkan rezim politik yang berbeda dan bagaimana mereka memberi ingatan kolektif. Sebagai contoh, sebagian besar kisah dan ingatan warga Jakarta dalam melacak kemunculan diskotek di Jakarta hingga ke Amerika.

Gambar 1

Rezim Orde Baru[1] Soeharto menandai meningkatnya pemasukan modal dari Barat dalam perekonomian. Meskipun begitu, tempat-tempat hiburan malam memang telah ada sejak zaman Belanda. Selama masa penjajahan, area utama hiburan malam terkonsentrasi di kelab-kelab Eropa (seperti Harmonie — merujuk lokasi — atau masyarakat Harmoni), serta di kompleks pecinaaan, di tempat yang kini dikenal dengan sebutan Mangga Besar dan Kota (di Princen Park, kini berganti nama menjadi Lokasari, lihat Gambar 1).[2] Jalan Lei-sure juga umum, dengan bentuk pertunjukan tradisional, dan musik.[3] Kompleks pelacuran terletak di pinggiran kota kolonial, di sekitar stasiun Kota, serta dekat Kanal Besar, Pasar Ikan (juga dikenal sebagai ‘Chick Market’ pada waktu itu[4]), Kalijodo, Meester Cornelis (Jatinegara), Tanah Abang, Senen hingga Menteng Selatan. Band-band juga akan menghibur para pengunjung kompleks ini dengan musik dan lagu. Seringkali kegiatan rekreasi dan seks akan terbagi di wilayah yang sama dan akan saling terkait — banyak diskotek (hingga hari ini) memiliki pelacur, sementara rumah bordil dilengkapi lantai dansa, sama dengan yang ada di Kalijodo pada awal artikel ini.

Pasca kemerdekaan dan hilangnya komunitas Belanda, geografi ini pun dipertahankan. Sayangnya periode 1950–1960an sedikit sekali didokumentasikan.[5] Hal ini telah menyebabkan asumsi bahwa rupa-rupa kehidupan malam diskotek yang ‘modern’ baru muncul di Jakarta seiring dengan munculnya rezim Suharto dengan modal dari Amerika. Asumsi ini keliru. Pada 1950-an, sebagian besar kegiatan malam hari dipusatkan di teater, bioskop, sudut-sudut ‘depot’ di mana orang dapat menemukan camilan, minuman, dan kadang-kadang alkohol untuk kaum muda yang ber-uang. Beberapa kelab malam ini mulai muncul lagi pada akhir tahun 1950-an, baik di Princen Parc dan daerah Harmoni, di hotel-hotel dan di kompleks hiburan khususnya. Sementara itu, tempat-tempat hiburan malam yang populer lainnya adalah pertunjukan jalanan, di beberapa tempat biliar, serta di pecinaan. Pelacuran juga dapat ditemukan di Senen, di kompleks Planet Senen: terletak di atas lahan selebar 1,3 hektar, dengan jumlah 6.000 penduduk terdaftar pada tahun 1970 (Misbach Yusa Biran, 2008; Tadié, 2002). Hanya dengan krisis ekonomi di tahun 1960-an kelab malam mulai dianggap bermasalah dan harus ditutup. Oposisi politik Presiden yang menganggap hal ini sebagai kendaraan imperialisme (khususnya yang membawa musik gaya Amerika) dan ‘kudeta’ 1965, serta aturan jam malam oleh militer di Jakarta membuat hal ini berhenti, sehingga memberi kesan dan asumsi bahwa hal ini tidak pernah ada sebelum periode Soeharto.

Evolusi utama sektor ini dapat dilacak dari akhir 1960-an, di bawah pemerintahan Gubernur Ali Sadikin,[6] ketika beberapa macam tempat hiburan baru bermunculan. Hal ini bersamaan dengan terbukanya negara untuk modal asing. Pada saat yang sama, kontrol politik atas pertumbuhan tempat-tempat ini ditegaskan kembali. Planet Senen ditutup pada tahun 1970 setelah serangkaian kebakaran, dan kompleks pelacuran resmi dibuka di Kramat Tunggak, dekat pelabuhan Tanjung Priok. Sementara sektor pelacuran direorganisasi, bar dan kelab malam memperoleh kehidupan baru: berbagai kelab malam ‘modern’ atau diskotek berlipat ganda hingga CBD (Central Business District*) baru. Dari kelab-kelab seperti Copacabana, Galaxy, LCC, dan Blow Up di Hotel Indonesia yang baru, Mini Disco di Jalan Juanda atau Tanamur[7] melambangkan bentuk-bentuk baru dari pembukaan hiburan internasional menuju bagian selatan kota. Beberapa dari tempat-tempat ini, seperti Tanamur, bahkan tetap aktif hingga tahun 2000-an. Selama ‘Orde Lama’, distribusi tempat-tempat ini telah mereproduksi geografi dari ruang masa kolonial, seolah-olah upaya Presiden Sukarno untuk menjauhkan Jakarta dari dinamika kolonial gaya lama belum memengaruhi aktivitas malam. Dari akhir 1960-an, mereka akhirnya mulai menduduki kota modern, selain dari daerah bekas kolonial.

Di Indonesia pasca kemerdekaan, letak geografis hiburan ‘modern’ muncul, berbeda dari daerah indo-cina/pecinaan yang lebih tradisional. Saat ini, area tersebut telah meluas ke bagian Selatan, dari bundaran Hotel Indonesia di Jalan Thamrin, CBD Segitiga Emas (di sepanjang jalan Sudirman dan Rasuna Said), Blok M (Kebayoran Baru) dan area Kemang. Mereka dirancang dalam gaya internasional menyerupai bar kelas atas yang dirancang elegan dan mirip dengan yang ada di belahan bumi lain. Awetnya area tersebut begitu kontras dengan ketidakpastian tempat lain yang berjuang untuk mempertahankan wilayah serta pelanggan mereka selama lebih dari beberapa tahun, yang sekaligus mencerminkan suatu kebaruan.

Adapun tempat-tempat hiburan yang lebih murah, yang memainkan sebagian besar lagu pop Indonesia atau dangdut — musik populer dengan irama Arab yang berasal dari Sumatra (Bader, 2013) — juga telah menyebar ke seluruh kota, misalnya, di dekat pelabuhan Tanjung Priok, Cipulir, Jatinegara, Cawang atau Blora. Tempat yang terakhir disebut, terletak di persimpangan Thamrin dan Sudirman, yang merupakan CBD, merupakan simbol transformasi kota. Hingga awal 1990-an, Blora adalah simbol kehidupan malam yang berkembang di Jakarta, dengan beberapa kelab di sekitar lahan sempit. Saat ini masih tersisa dua kelab dangdut kecil, karena pembongkaran dan pembaruan kota terjadi. Di sini, kelab-kelab digantikan oleh gedung-gedung perkantoran kecil (yang kemungkinan dimiliki beberapa pengusaha besar tempat hiburan malam di bagian utara kota), sebagai pemasukan bisnis antara kegiatan siang dan malam hari.

Sebagai hasil dari perubahan oleh populasi kota metropolitan, berbagai jenis tempat kini hidup berdampingan, dengan pengunjung yang berbeda pula. Di daerah Blok M, misalnya, kelab dan karaoke melayani orang-orang Asia Utara (terutama Korea dan Jepang); yang lain ke bagian Barat di sisi utara terminal bus, tempat berbagai pelacuran dan tempat dugem dapat ditemukan. Orang Barat lainnya pergi ke bar dan hotel di Jakarta Selatan atau bergaul dengan para elit Indonesia di Kemang atau menuju CBD ‘Segitiga Emas’. Adapun orang Tionghoa-Indonesia, mereka sebagian besar masih melindungi wilayah barat kota, di lingkungan Mangga Besar-Kota. Perbedaan seperti itu tentu saja relatif dan memunculkan pola yang bercampur. Namun demikian, betapapun berbedanya standar dan aturan tempat-tempat ini, semuanya tampaknya mencerminkan model-model hiburan, kelab, dan bar yang cukup unik di Jakarta. Tempat-tempat ini cenderung mengkonfirmasi kelanjutan antara geografi di siang dan malam hari. Ekspansi tempat-tempat ini adalah bagian dari pertumbuhan kegiatan kota yang berkembang. Orang mungkin bertanya-tanya, meskipun kota memiliki sifat permanen yang merupakan gambaran suatu lingkungan. Umur panjang ini, seperti yang dapat dilihat di Kalijodo atau bahkan Lokasari, mengisyaratkan cara-cara khusus oleh manajemen kelab dan kota, di mana kategori seperti ‘legal’ dan ‘ilegal’ atau ‘resmi’ dan ‘terselubung’ adalah tidak selalu relevan. Mereka menunjuk pada berbagai jenis praktik dan tujuan. Yang mana tercermin dalam organisasi internal tempat di Jakarta.

Kelab-kelab dan Balet

Saat ini, lingkungan hiburan malam terbesar dan paling mencolok tetap ada di wilayah Kota (atau Mangga Besar), di sebelah barat kota. Wilayah ini memiliki sejarah panjang dari mulai panti pijat++ (yang tutup pada tengah malam), kelab malam yang lebih besar dan kadang-kadang multifungsi, serta kios di luar ruangan. Di sini kehidupan malam menciptakan jenis ‘balet’ tertentu. Berkembangnya aktivitas di sini dihasilkan dari berbagai jenis pendudukan ruang merujuk pada tatanan yang kompleks, di mana pemangku kepentingan yang berbeda turut campur tangan, baik di trotoar (lih. Jacobs, 1961) dan di tempat-tempat lain. Ini juga memunculkan ketegangan yang berbatasan antara legalitas dan ilegalitas, antara urusan hubungan formal dan informal, di mana rujukan pada undang-undang dan peraturan kota resmi tampaknya sedikit relevan untuk memahami bagaimana pengendalian dari kegiatan-kegiatan malam tersebut tetap dilakukan.

Di kelab yang lebih besar, berbagai jenis kegiatan hidup berdampingan. Salah satunya kelab yang dibuka pada tahun 1997. Kelab ini memiliki lima lantai, dengan kafetaria di lantai dasar, pijat++/prostitusi dan lantai dansa di lantai pertama, tempat karaoke dan lantai dansa di lantai dua, sedangkan lantai dansa terbesar didekorasi dengan desain baroque di dua lantai berikutnya. Dekorasi ini sayangnya tidak bertahan lama, karena kelab segera berlomba-lomba meredupkan lampu pada awal tahun 2000-an untuk menutupi mata-mata sensitif pengunjung karena penggunaan narkoba, dan ekstasi akan dijual secara bebas (di sebuah negara dengan hukuman narkotika yang tinggi, bahkan ada hukuman mati karena perdagangan narkoba). Kegiatan lain yang terjadi di tempat ini, hingga di sebelah lantai dansa utama, adalah prostitusi (hampir di setiap lantai), dengan muncikari yang menawarkan layanan pelacur yang mereka punya. Pencopet juga diketahui dapat beroperasi dengan membayar penjaga keamanan tempat tersebut, seperti yang dikatakan beberapa petugas polisi secara off-the-record.[8] Kelab dibuka sampai pagi hari dan tidak tutup selama akhir pekan (kelab memiliki otorisasi malam hingga pukul empat pagi). Jenis diskotek ini sebagian besar dikendalikan oleh beberapa pengusaha Cina-Indonesia yang memiliki dan mengeksploitasi kelab dan karaoke yang lebih besar di beberapa bagian kota, dan baru-baru ini para pengusaha itu memperluas usaha mereka ke jenis bisnis baru (real estate, pekerjaan umum, dll.) di Selatan kota dan tempat lain di negara ini. Berdampingan dengan kelab besar jenis pertama ini, orang dapat menemukan yang lebih kecil, kelab-kelab malam yang juga memainkan musik elektronik, serta jenis musik lokal, seperti dangdut, kadang-kadang ditambah penampilan langsung seorang musisi dan penyanyi.

Dalam statistik resmi Dinas Pariwisata pemerintah provinsi, kelab yang dijelaskan di sini tidak hanya terdaftar sebagai diskotek, tetapi juga sebagai hotel. Oleh karena itu tempat-tempat ini dapat menghindari razia secara terbuka terkait peraturan penutupan tempat pada bulan Ramadhan, karena hanya diskotek yang berlokasi di hotel yang diizinkan untuk beroperasi saat puasa. Di tempat ini, terdapat berbagai kegiatan melanggar hukum dan ilegal. Dari penggunaan narkoba, pelanggan tetap yang terus datang, hingga bisnis-bisnis perlindungan dan bagi hasil oleh manajemen. Ini adalah jenis perjanjian terselubung yang sama yang dapat dilihat pada tingkat yang lebih rendah antara penjaga keamanan dan pencopet, di mana pencopet dapat beroperasi di dalam kelab. Agar tidak membuat ragu pengunjung untuk datang ke pesta dansa, peringatan dipasang bahwa ada risiko pencurian dan pelanggan dipaksa (untuk keluar biaya) untuk menyimpan barang-barang berharga mereka di loker deposit. Pelanggan yang kecopetan dibiarkan menanggung beban kerugian mereka sendiri karena kurangnya kewaspadaan. Sistem manajemen yang terorganisir tampaknya sudah mafhum dengan hal ini. Ini ditandai dengan negosiasi antara berbagai jenis pencopet, terlepas dari status hukum mereka — seorang napi atau bukan. Jenis-jenis kewenangan dan perjanjian yang berbeda-beda dan tumpang tindih ini — mirip dengan yang disebutkan dalam contoh Kalijodo di awal artikel — juga tercermin dalam ‘rumor’ seputar posisi kepala polisi kecamatan Tamansari misalnya, di mana sebagian besar kelab tersebut berada. Pada tahun 2010, seorang mantan kepala polisi dari sektor ini mengaku kepada kami bahwa setiap kandidat untuk posisi ini harus menyerahkan sejumlah uang US $ 150.000, sehingga menjadikan jabatan ini menjadi salah satu jabatan polisi paling mahal di Indonesia.[9] Harga ini mencerminkan profitabilitas posisi karena seseorang tidak hanya diharapkan mendapatkan pengembalian investasi dari berbagai jenis bonus, tetapi juga menjalin hubungan bisnis yang dapat mengarah pada karier yang menguntungkan dan sebuah sukses besar.

Dengan demikian sebuah sistem dapat dibuat untuk mengatur pengoperasian tempat-tempat tersebut. Di atasnya, para pemilik utama berurusan dengan cara yang kurang lebih resmi dengan tentara (yang juga memiliki peran dan teritorial di Indonesia) dan polisi (Tadié, 2006) untuk keamanan dan perlindungan keseluruhan, serta batasan kegiatan (Wilson, 2011). Mereka juga berhubungan dengan Dinas Pariwisata dari pemerintah provinsi untuk otorisasi jam operasi buka hingga tutup.[10] Pemerintah provinsi juga berperan penting melalui polisi kotamadya (tramtib) mereka, yang juga dapat menyebabkan ancaman bagi bisnis ini: apalagi mereka seharusnya mengawasi penegakan peraturan kota, dan dapat mencabut izin operasi. Operator-operator bisnis ini juga harus mengatasi tekanan dari apa yang disebut ‘organisasi masyarakat’ seperti beberapa gerakan Islam (FPI — Front Pembela Islam, misalnya), yang atas nama moral agama menunjukkan kepada mereka dengan cara main hakim sendiri, terutama ketika pemilik usaha ini belum melunasi uang pelicinnya (Pisani, 2008; Ryter, 2005; Wilson, 2011). Mengenai keamanan tempat sehari-hari, para manajer harus berurusan dengan jenis kelompok lain. Di bawah era Soeharto, apa yang disebut ‘kelompok pemuda’ yang terkait dengan aparat politik seperti Pemuda Pancasila (Ryter, 1998) atau Pemuda Panca Marga misalnya, serta kelompok-kelompok preman Indonesia Timur, adalah yang paling menonjol dalam keamanan kelab malam. Saat ini kelompok-kelompok yang datang dari bagian timur nusantara (dari Ambon atau dari Flores) masih ada bersama dengan tentara yang mengambil alih.[11] Di dalam, para pelanggan berurusan dengan staf, serta dengan pekerja seks dan muncikari mereka, dengan penjual narkoba dan pencopet. Yang terakhir, pada gilirannya berurusan dengan keamanan sehingga mereka lebih baik menutup mata pada tindakan macam begini.

Lingkar pertama sistem organisasi ini harus disesuaikan dengan sistem yang berlaku di jalan. Kelab malam tidak hanya membuat visual dan sirkulasi sedemikian rupa, tetapi mereka juga bagian dari area pengorganisasian secara keseluruhan. Di lingkup ini, lingkungan manut pada perintah dan dikendalikan oleh polisi, tentara, serta pemerintah kota (tidak hanya melalui Dinas Pariwisata, tetapi juga melalui polisi Kota/Pamong Praja, yang sering mengganggu para pedagang kaki lima). Di luar kelab akan sedikit berbeda, apa yang tampak sebagai kejanggalan akan mencerminkan distribusi jalan yang berbeda pula: agen keamanan menjaga tempat; PKL mencari pelanggan; anak jalanan dan wanita yang lebih tua mengemis; pencopet beroperasi dan preman kecil memanfaatkan apa yang disugukan untuk mengumpulkan uang dari taksi dan angkutan umum, terutama di dekat kelab tempat kemacetan lalu lintas muncul (seperti yang biasa terjadi di bagian lain kota pada siang hari). Lingkaran kedua bergantung pada yang pertama ini; diisi berbagai tempat makanan (baik restoran 24 jam dan food street), toko serba ada, kios jalanan yang menjual barang mulai dari rokok hingga obat kuat. Jalan menuju Kota atau Jatinegara, misalnya, memiliki lusinan kios yang menjual sebagian besar suplemen/obat penambah nafsu dari Cina (obat cina), serta DVD ilegal, termasuk video pornografi. Mereka terutama dikendalikan oleh pengusaha asal Tiongkok, bahkan jika penjual yang mengurus bisnis sehari-hari adalah pendatang baru di kota, hal ini justru memperkuat stereotip yang menghubungkan kewirausahaan China dan leisure with sex (menghabisakan waktu luang dengan seks*). Para pedagang ini sebagian besar berada di bawah tekanan dari polisi yang meminta pajak pada mereka.[12] Pelanggan utama warung-warung ini biasanya mampir ketika baru saja keluar dari kelab ataupun sebelum check-in ke hotel-hotel terdekat. Hal ini, sekali lagi, dikendalikan oleh Dinas Pariwisata dan menjadi sasaran empuk serbuan polisi, sehingga sangat mudah bagi polisi untuk menghubungkan berbagai tempat di sektor ini. Tempat-tempat hiburan malam yang lebih besar pada akhirnya bertahan dan membentuk lingkungannya sendiri berdasarkan ukurannya, daya tarik dan keramaian di sekitar. Mereka juga mencerminkan kategori yang samar-samar.

Apa yang tampaknya dipertaruhkan di sini bukanlah legalitas atau ilegalitas, melaikan hubungan para pelaku yang berbeda, karena transaksi tersebut selalu berbatasan dengan legalitas. Ketika seorang petugas polisi melindungi tempat-tempat tertentu terlalu banyak, pemerintah provinsi tidak memaksakan penutupan resmi pada jam empat pagi bagi kelab-kelab ini dan memungkinkan mereka untuk tetap buka sepanjang akhir pekan, yang terpenting bukan status hukum (legal dan tidak) serta tindakan-tindakan, atau peraturan dalam masing-masing kelab, tetapi cara-cara mereka ditangani. Seperti yang dikatakan Aspinal dan van Klinken (2011) ketika mempelajari ilegalitas di Indonesia, bukan lensa hukum yang memungkinkan kita untuk memahami apa yang terjadi dalam transaksi ilegal pejabat negara. Ini lebih tepatnya, menurut mereka, struktur politik masyarakat di Indonesia. Di sini kami ingin menekankan peran hubungan pelaku-pelaku perjanjian terselubung. Lebih dari sekadar mencerminkan praktik-praktik negara, di tingkat lain praktik-praktik tersebut justru berada di pusat politik informal, yang dilakukan setiap hari, yang berkontribusi untuk membentuk suatu lingkungan — kelab malam. Jika bidang-bidang ini dapat dianalisis sebagai sistem, dengan pemegang saham memegang kendali, mereka lebih merupakan hasil dari transaksi terselubung. Karenanya mereka berbeda dari jenis tempat hiburan malam lainnya, yang dibentuk oleh kebijakan neo-liberal. Berbagai orang yang bekerja di lingkungan malam Jakarta dihubungkan oleh hubungan antar pribadi, lebih dari kontrol resmi yang efektif. Oleh karena itu, aturan kelab tidak hanya datang dari kebijakan atau keputusan manajemen yang ditetapkan, tetapi lebih merupakan bagian dari simbiosis, di mana pemilik tempat tidak melihat apa yang sebenarnya terjadi di kelab milik mereka, membiarkan peredaran narkoba maupun prostitusi berjalan lancar dengan sendirinya. Fakta-fakta ini sangat relevan di beberapa tingkat kota.

Peraturan

Organisasi ini sejajar dengan aturan lingkungan malam hari pada skala yang lebih besar di kota. Daerah mengalami perubahan dan tunduk pada kebijakan pemerintah provinsi. Sebagai contoh, pada tahun 1970, Gubernur Ali Sadikin membuka kompleks Kramat Tunggak untuk menertibkan kegiatan pelacuran, untuk memantau dan memiliki kontrol lebih besar terhadapnya (Hull et al., 1999; Murray, 1991; Sedyaningsih-Mamahit, 1999). Ketika Gubernur Sutiyoso menutupnya pada tahun 1999, ia memobilisasi ketertiban dan memberi argumen moralis untuk tidak membenarkan tindakan semacam itu. Jenis tatanan yang berbeda harus diciptakan — yang lebih bermoral dan religius. Pusat Islam dengan masjid dibangun menggantikan kompleks sebagai cara untuk’menyucikan’ bekas lahan maksiat. Ketika kompleks Boker digerebek oleh pemerintah provinsi, diusulkan pula sebuah masjid akan dibangun di tempatnya. Ini semua terjadi pada masa pertimbangan politik, hal ini dipandang sebagai masalah, hingga kekacauan lain turut muncul. Pekerja seks dipindahkan ke jalan-jalan atau ke kompleks-kompleks yang lebih tersembunyi seperti Rawa Malang atau Kalijodo. Mereka menjadi lebih rentan karena tidak ada perlindungan dan kurang memiliki akses ke layanan pemantauan kesehatan, meskipun begitu hal ini tidak begitu penting bagi para pembuat aturan.[13]

Kebijakan penggusuran lainnya juga hanya berpengaruh secuil. Jatinegara, yang memiliki 3000 pekerja seks, mengalami relokasi. Pada 1950-an, kompleks pelacuran terletak di Kebon Sereh, di belakang stasiun kereta api (Shahab, 2004). Kemudian mereka bergerak ke arah yang berlawanan dari stasiun, sepanjang satu petak dan dua kebun yang terletak di sepanjang jalan bebas hambatan, yang dikenal sebagai Taman Viaduct (Taman Viaduc, juga disebut sebagai Taman Miring). Sedangkan orang bisa melihat warung remang-remang penjaja pelacuran di sekitar jalan, beberapa tempat perjudian, hingga sawer dangdut serta jaipongan (tarian di mana perempuan menari dengan kostum tradisional dari Jawa Barat) di alun-alun, para waria dan transpuan akan berada di taman hingga ke jalan bebas hambatan di barat. Kemudian pelacur muda lainnya akan menerima pelanggan mereka di taman yang terletak di sisi timur jalan bebas hambatan. Semua ini diselesaikan pada pertengahan 2000-an, ketika pemerintah provinsi memutuskan untuk menghapus kegiatan ini dari daerah tersebut. Lapangan dan taman dipagari. Hal ini membuat aktivitas ini bergerak beberapa meter lebih jauh lagi, di sepanjang jalan yang berbatasan dengan rel. Di sana, orang dapat menemukan gerobak dangdut/orkes dorong bergerak dan orang-orang menari di depan mereka, serta kios-kios di trotoar yang menyediakan pekerja seks — baik wanita dan waria — sedangkan yang lain berdiri menunggu untuk pelanggan dari mobil atau motor. Jaipongan juga telah berpindah dari lokasi pusat di alun-alun, menuju warung-warung kecil di sisi rel kereta api.

Contoh-contoh ini adalah simbol dari visi aturan kota (dalam bahasa Indonesia, istilah yang digunakan oleh kepolisian adalah pengaturan atau penertiban). Perbedaan antara kebijakan yang dimaksudkan dan efeknya di lapangan memberi dampak yang melekat erat pada kebijakan hari ini. Apa yang terjadi di sini hanyalah tampilan sebuah aturan, tanpa memperhitungkan efek, konsekuensi, atau relokasi kegiatan. Hal ini bukan hanya bisa dilihat dari kasus Jatinegara, tetapi juga melalui penutupan Kramat Tunggak. Demikian pula, laporan dari polisi sipil provinsi (Tramtib), yang berisi laporan statistik terperinci tentang jumlah kios remang-remang atau pelacur atau pengemis yang telah ‘dipindahkan’ dari jalanan, menunjukkan bahwa penting untuk mengatakan bahwa beberapa tindakan ini diambil pemerintah hanya sekadar memberikan aturan baru yang politis, ketimbang memikirkan keberlanjutan atau konsekuensi dari aturan baru tersebut.

Dalam hal ini modernitas Jakarta juga turut dipertaruhkan: ketertiban harus berlaku di kota modern dan kebijakan yang sesuai dengan tolok ukur internasional harus diadopsi demi menciptakan efek tersebut. Dengan demikian, ketika Planet Senen dipindahkan dan Kramat Tunggak dibangun, ibu kota memiliki referensi untuk menjadi semodern wilayah Bangkok — bahkan jika kompleks lain juga dibuat di Indonesia, misalnya di Solo (Lim, 1998; Ramadhan, 1995). Baru-baru ini, di bawah tekanan gerakan Islamis, moralitas dan tingkat kepercayaan disulap sedemikian rupa, seolah-olah dosa harus dihapus dari wilayah Boker, Kramat Tunggak atau Jatinegara. Langkah-langkah itu dilakukan dengan publisitas, tentu, tetapi mereka memiliki sedikit konsekuensi, khususnya pada aturan pelacuran. Tampaknya perhatian utama masih untuk menunjukkan bahwa seseorang mengatur malam dan menghasilkan aturan demi aturan, terlepas dari biaya, konsekuensi dan efektivitas kebijakan tersebut. Dengan demikian, modernitas dan moral dapat dilihat sebagai kategori yang tidak berarti dalam perencanaan kota, karena mereka diarahkan untuk menampilkan citra.

Konklusi

Jika proses informal mengelilingi banyak kelab malam dan rumah bordil di seluruh dunia — termasuk dengan cara pinggiran di Jakarta, perjanjian terselubung merupakan kunci dari zona ini. Di sini, peraturan baru muncul sebagai sarana memperbarui perjanjian dan negosiasi aturan demi aturan. Ini dapat dilihat dari tingkat jalan dengan kios-kios gelap/warung remang-remang, pegawai parkir gelap (atau penjahat) dan kendali mereka terhadap apa yang berhak ada di trotoar sekalipun, hingga ke tingkat tertinggi, yakni administrasi kota. Proses-proses kontrol perjanjian terselubung ini terlihat dengan sangat tajam di jalanan pada malam hari dan juga sesuai dengan kesepakatan dalam pengelolaan lingkungan tempat di mana hal ini berada. Di sini ketegangan antara pelanggaran dan keberlanjutan dengan agenda siang hari tampak bercampur menjadi satu jenis manajemen tak resmi perkotaan.

Apa yang membuat kehidupan malam di Jakarta begitu khusus, bukan hanya karena begitu banyaknya tempat yang tersedia (serta ukurannya), dari perpaduan antara rumah bordil jalanan dan kelab ‘modern’, berbagai jenis pelanggan, tetapi juga cara di mana seluruh sektor kota dibentuk oleh relasi-relasi semacam ini. Langkah awal menuju tatanan standar, bahkan internasional (dan sesekali moral) yang menghasilkan kontrol dan regulasi yang lebih besar di kota pada malam hari di sini menjadi tidak efisien. Bukan berarti lebih banyak kontrol ‘resmi’ diperlukan — kami menunjukkan bahwa polisi, tentara dan pemerintah memang hadir dan bahwa operasi penyergapan gabungan tampaknya hanya menjadi dalih untuk mendapat sirkulasi uang yang lebih besar atau, dalam periode pemilu, mengumpulkan lebih banyak suara. Ini mungkin ditafsirkan sebagai Laissez-faire yang tipis sekali dengan korupsi. Tetapi sikap ini sesuai dengan kenyataan sosial di Jakarta dan negosiasi yang diperlukan bersama peraturan. Ini menunjuk pada cara-cara Indonesia mengatur, berlabuh dalam visi harmoni dan fungsi (Geertz, 1960; Permanadeli, 2000). Di sini modernisasi tidak menciptakan cara-cara baru untuk mengendalikan kota tetapi dimasukkan ke dalam cara-cara permanen mengelola kota. Kelab mencerminkan penggunaan dan praktik kekuasaan yang terus-menerus ada di ibu kota Indonesia.

____

[1] Sejak deklarasi kemerdekaan 1945, dan diakui sebagai sekutu internasional, lalu pasca perang empat tahun yang disebut ‘Revolusi Indonesia’ hingga 1949, hingga tiga periode Presiden Sukarno menjabat (sampai 1966), sering disebut sebagai ‘Orde Lama’; sedangkan rezim ‘Orde Baru’ Presiden Suharto berlaku sejak 1966–1998 dan dilanjutkan periode Reformasi hingga kini.

[2] Sumber utama kami adalah Abeyasekere (1989), Lohanda (2002), Ramadhan (1995), Shahab (2004) serta beberapa wawancara. Tentang pelacuran, lihat Hull et al. (1999), Murray (1991), Lim (1998), Watson Andaya (2001) dan Lamijo (2009).

[3] Tujuan kami di sini bukan untuk membahas yang disebut ‘seni tradisional’ atau ‘seni asli’ (ataupun seni campuran) seperti pertunjukan tari atau teater.

[4] Blusse, dikutip dari Shahab (2004: 60).

[5] Sumber kami berasal dari hasil wawancara dan majalah dari tahun 1950 hingga 1960-an.

[6] Jakarta saat ini adalah suatu provinsi (DKI Jakarta atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta) di bawah wewenang gubernur. Jakarta saat ini dibagi dalam enam kota (administrasi) yang masing-masing memiliki Walikota. Mereka pada gilirannya dibagi menjadi kelurahan dan kecamatan. Sejak pertengahan 2000-an Gubernur dipilih melalui pemilihan langsung daerah.

[7] Akronim Tanah Abang Timur atau Tenabang Timur.

[8] Sebagian besar deskripsi ini berasal dari pengamatan kami — termasuk dicopet saat berada di kelab — dan wawancara dengan polisi.

[9] Tujuan kami di sini bukan untuk menggambarkan polisi yang korup, yang sering digambarkan oleh para sarjana (lihat Barker, 1998; Tadié, 2006).

[10] Dengan demikian menjadikan Layanan Pariwisata kota sebagai layanan yang menarik secara finansial untuk diajak bekerja sama.

[11] Sumber kami berasal dari wawancara dengan manajer kelab.

[12] Berdasarkan wawancara tak resmi dengan penjual suplemen/obat cina penambah nafsu.

[13] Kami mengucapkan terimakasih kepada Elizabeth Pisani untuk pengetahuan ini.

Tulisan ini merupakan bagian akhir yang saya terjemahkan dari tulisan panjang berjudul Night and the city: Clubs, brothels and politics in Jakarta di Jurnal Urbanstudies, 2014. yang merupakan hasil penelitian Jérôme Tadié (Prancis) dan Risa Permanadelli (Indonesia).

Jérôme Tadié adalah seorang ahli geografi urban, peneliti di Lembaga Riset untuk Pembangunan (IRD) di bawah UMR Migrations et Sociétés (Urmis). Ia telah menerbitkan beberapa buku, salah satunya Les Territoires de la violence à Jakarta (Penerbit Belin) atau Wilayah Kekerasan di Jakarta (Masup Jakarta).

Risa Permanadeli merupakan pendiri dan Direktur Pusat Representasi Sosial , Jakarta-Indonesia, sejak tahun 2005.

--

--

Doni Ahmadi

A writer and editor. His Book, short stories “Pengarang Dodit” (2019).