Kronik Ringkas Pelarangan Buku di Era Reformasi dan Repetisi Sejarah Masa Lalu

Doni Ahmadi
15 min readApr 30, 2020
ilustrasi: tophermacdonald.com/Lisa Jee

/I/

Sejarah sebuah buku memang memiliki banyak rupa. Berawal dari ungkapan ‘buku merupakan jendela dunia’, lalu ungkapan lain yang menyebut, dengan membaca buku kita seolah bertamasya ke ruang-ruang imajinasi dan menjelajahi pelbagai pengetahuan dari yang musykil hingga yang subtil.

Kebiasaan membaca juga diyakini mampu membuat seseorang menjadi lebih kritis, apalagi di tengah banjirnya informasi maupun berita bohong, laku kritis ini memang perlu untuk dapat memilah mana sumber yang tepat dan sebaliknya. Dan pada tahap inilah para pembaca akan benar-benar merasakan pencarian akan kebenaran sepanjang hidup mereka.

Di Indonesia, gejolak pembaca juga makin meningkat. Selain mudahnya akses kepada buku, hal ini tentu bisa dilihat dari tingkat penjualan buku, munculnya banyak penerbit baru yang menerbitkan buku-buku dari berbagai genre — baik buku lokal maupun terjemahan — banyaknya penjual buku online dari berbagai jenis — dari buku lawas, buku langka, buku bekas, buku impor, sampai buku bajakan yang sulit dihapus peredarannya. Belum lagi ramainya acara-acara buku hingga festival buku, (sebagai misal, Indonesia International Book Fair, Kampung Buku Jogja, Patjarmerah, Pesta Sejuta Buku Malang & Semarang, LitBeat: Literacion Festival dan masih banyak lagi, belum lagi pesta buku yang diadakan secara tiba-tiba oleh toko buku-toko offline).

Masyarakat pembaca pun sudah mulai bergerak, dari membaca untuk diri sendiri, menuju membaca untuk semua. Kini tak sedikit pembaca yang terhimpun dalam organisasi dan komunitas yang mengupayakan bahwa buku harus hadir dan dibaca banyak orang, di mana mereka mulai membentuk perpustakaan jalanan yang menjajakan buku-buku (dari milik pribadi sampai donasi). Hal ini pun sudah terjadi di puluhan kota besar, sebagai misal, di Jakarta terdapat sebuah komunitas yang kerap menghadirkan perpustakaan jalanan rutin tiap hari minggu di bilangan Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat.

/II/

Sejarah tentang buku sayangnya tidak hanya berbicara tentang hal-hal yang baik saja, atau yang elok saja. Sejarah mencatat buku juga memiliki era kegelapan. Narasi tentang sejarah buku-buku bahkan dipenuhi kisah-kisah paling pedih, dari penentangan, pelarangan, pembredelan, hingga penghancuran.

Kisah yang paling memilukan terkait buku terjadi pada dekade 1200-an. Saat itu, sekitar 150.000 bala tentara Mongol menginvasi Baghdad yang dikenal sebagai pusat peradaban Islam sejak berabad lampau. Para tentara ini menghancurkan apa yang tegak di bawah langit: masjid, rumah sakit, istana, dan perpustakaan. Puluhan ribu buku — merentang dari buku astronomi, kedokteran, kimia, geografi, juga kartografi — koleksi The Grand Library of Baghdad dibuang ke sungai Tigris. Legenda mengatakan, aliran sungai Tigris menghitam karena tinta buku yang luntur. Yang lebih memilukan lagi, itu bukan kisah terakhir penghancuran buku. Lebih dari 800 tahun sejak tragedi yang dikenal sebagai Siege of Baghdad itu, tindakan serupa masih langgeng dilakukan oleh penguasa.

Di Amerika Serikat, yang sering dianggap sebagai rumah bagi kebebasan, penentangan, penyensoran dan pelarangan buku juga masih terjadi. Menurut American Library Association, ada setidaknya 11.300 buku yang ditentang sejak 1982. Untuk menggugah isu kebebasan membaca, sejumlah organisasi berbeda latar belakangan kemudian membuat Banned Book Weeks.

Tak sampai di situ, pakar perbukuan asal Venezuela, Fernando Báez, yang pada saat itu tengah berada di Irak saat pasukan Amerika Serikat menggempur Bagdad menyaksikan bagaimana peradaban dihancurkan lewat pembakaran buku dan perusakan museum-museum pada Mei 2003.

Terhantui oleh pertanyaan “Mengapa manusia menghancurkan buku?”, Báez pun menyusun kajian yang pada tahap akhirnya termaktub dalam sebuah buku berjudul Penghancuran Buku dari Masa ke masa, di Indonesia buku ini sudah diterbitkan oleh penerbit Marjin Kiri pada 2013 lalu.

Bertentangan dengan pendapat umum, Báez menemukan bahwa buku-buku dihancurkan bukan oleh ketidaktahuan awam atau kurangnya pendidikan, melainkan justru oleh kaum terdidik dengan motif ideologis masing-masing. Dan ini bisa menjelaskan fenomena dunia ketika profesor, pejabat pemerintah, bahkan penerbit sendiri ikut-ikutan membakar buku.

/III/

Hal ini tidak terjadi di Negara-negara besar saja, Indonesia sendiri termasuk negara yang sering melarang, membredel, bahkan melakukan penghancuran buku. Sejarah pelarangan buku di Indonesia dapat ditelusuri dari rekam jejak yang melintasi berbagai periodisasi zaman. Dirunut dari akar sejarahnya, pelarangan buku sebenarnya sudah jauh terjadi sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Kerajaan-kerajaan itu melarang berbagai bentuk perlawanan titah raja dengan dalih bahwa kekuasaan mutlak itu milik penguasa atau status raja sebagai representasi titisan Dewa/Tuhan di dunia.

Dokumentasi sejarah pelarangan buku di Indonesia secara nyata mulai terlacak sejak masa kolonial, bentuknya berupa pemenjaraan atau pengasingan seseorang karena hasil karyanya dianggap berlawanan dengan pandangan politik dan kebijakan pemerintah kolonial. Setelah merdeka, pelarangan buku tetap berlanjut, bahkan terus meningkat, yakni dari masa Demokrasi Terpimpin di bawah kendali Sukarno dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Setelah Orde Baru tumbang dan digantikan Reformasi, pelarangan buku pun mengendur seiring dengan iklim demokrasi. Namun, kondisi itu ternyata tidak berlangsung lama. Era Reformasi yang mengusung agenda kebebasan berekspresi dan penegakan hak asasi manusia kembali melanggengkan praktik pelarangan buku.

Pada era Demokrasi Terpimpin, Orde Lama sempat mengeluarkan UU No 4 tahun 1963 yang membuat Kejaksaan Agung memiliki ‘hak’ untuk melarang buku dan semua barang cetakan yang dianggap bisa mengganggu ketertiban umum. Meski DPR tidak mengesahkannya, Sukarno tetap memuluskan peraturan itu dengan menjadikannya sebagai penetapan Presiden. Kewenangan itu kemudian diteruskan lagi oleh Orde Baru yang tercatat paling banyak melarang buku dan barang cetakan lain.

Pada masa Orde Baru, upaya pelarangan buku dilakukan secara terang-terangan oleh pemerintah. Tidak hanya dilarang terbit, para penulisnya dan penjualnya pun harus rela mendekam di penjara. Peristiwa 1965 atau G30S menjadi pemicu penumpasan dan penghancuran lembaga-lembaga serta anggota-anggotanya yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Lembaga Komando Pemulih­an Keamanan dan Ke­tertiban (Kopkamtib) pun dibentuk pada 10 Oktober 1965. Lembaga ini memiliki wewenang besar untuk meng­ambil tindakan apa saja dalam rangka ‘memulihkan keamanan dan ketertiban’. Hasilnya, jutaan orang mengalami kekerasan, dibunuh dan ditangkap tanpa proses peradilan karena didakwa sebagai anggota atau simpatisan PKI. Selain membentuk lembaga pengawasan keamanan dan ketertiban, pemerintah juga menetapkan Tap MPR XXV/MPRS 1966 dengan membubarkan PKI dan melarang ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme-Komunisme. Ketetapan ini men­jadi alat penting untuk mengontrol masyarakat secara luas dan menjadi dasar penyusunan berbagai peraturan yang mengekang kebebasan berekspresi dan diskusi-diskusi mengenai Marxisme, Leninisme, maupun Komunisme.

Sama seperti pada masa Orde Lama, Kejaksaan Agung sebenarnya hanya menerima pengaduan dari lembaga-lembaga lain dan menerbitkan SK pelarangan berdasarkan pengaduan tersebut. Dari konsideran surat-surat keputusan pelarangan, memang terlihat bahwa lembaga-lembaga lain seperti Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara 1967–2000, mulai Januari 2001 berubah menjadi BIN alias Badan Intelijen Negara), Bakorstanas (Badan Ko­ordinasi Stabilitas Nasional), Bais (Badan Intelijen Strategis), ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), Polri (Kepolisian Republik Indonesia), dan Departemen Agama, secara rutin mengirimkan pandangan mereka langsung kepada Jaksa Agung. Dalam praktiknya, posisi Jaksa Agung Muda bidang Intelijen (JAM Intel), yang hampir selalu ditempati oleh perwira tinggi militer, dengan mudah berhubungan dengan semua instansi penyelenggara “ketertiban dan keten­traman umum” dalam mengumpulkan informasi tentang buku-buku “rawan”.

Kerja sama informal antara Jaksa Agung dan lembaga-lembaga — militer — lainnya baru diformalkan pada Oktober 1989 ketika Kejaksaan Agung membentuk Clearing House yang berfungsi meneliti isi sebuah buku dan memberi rekomendasi langsung kepada Jaksa Agung. Melalui SK No. Kep-114/ JA/ 10/ 1989, Clearing House secara resmi bekerja di bawah Jaksa Agung dan terdiri atas 19 anggota dari JAM Intel dan Subdirektorat bidang pengawasan media massa, Bakorstanas, Bakin, Bais, ABRI, Departemen Penerangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, serta Departemen Agama.

Selain Kejaksaan Agung, lembaga pemerintah yang juga melarang buku adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan RI no. 1381/1965 tentang larangan mempergunakan buku-buku pelajaran, perpustakaan dan kebudayaan yang ditulis oleh oknum-oknum dan Anggota-anggota Ormas yang dibekukan sementara waktu kegiatannya, disertai dengan dua buah lampiran. Lampiran pertama berisi 11 daftar buku pelajaran yang dilarang pemakaiannya, antara lain buku-buku karya Soepardo SH, Pramoedya Ananta Toer, Utuy T. Sontani, Rivai Apin, Rukiyah, dan Panitia Penyusun Lagu Sekolah Jawatan Kebudayaan. Lampiran kedua berisi 52 buku karya penulis-penulis Lekra yang harus dibekukan seperti Sobron Aidit, Jubar Ayub, Klara Akustian/A.S Dharta, Hr. Bandaharo, Hadi, Hadi Sumodanukusumo, Riyono Pratikto, F.L Risakota, S. Rukiah, Rumambi, Bakri Siregar, Sugiati Siswadi, Sobsi, Agam Wispi, Zubir A.A, dll.

Selain Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Perdagangan dan Koperasi juga mengeluarkan Keputusan Menteri No 286/KP/ XII/ 78 yang diturunkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri No 01/ DAGLU/ KP/ III/ 79 yang melarang impor, perdagangan, dan pengedar­an segala jenis barang cetakan dalam huruf/aksara dan bahasa Tiongkok. Pada masa itu, pemerintah Tiongkok yang beride­ologi komunisme dianggap berbahaya dan mengimpor barang cetakannya dapat membuka kesempatan untuk menyebarluaskan ideologi tersebut.

Tak hanya pelarangan, tindakan represif pada masa Orde Baru juga diikuti dengan penyitaan buku secara paksa dan bahkan penangkapan dan pengadilan bagi mereka yang terkait dengan buku tersebut. Pengadilan atas Bambang Subono, Bonar Tigor Naipospos, dan Bambang Isti Nugroho di Yogyakarta pada 1989 memaksa mereka harus mendekam di penjara karena kedapatan membawa buku Pramoedya Ananta Toer.

/IV/

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, era reformasi pun tak jauh berbeda. Hal ini menjadi dekaden dari sema­ngat reformasi, terlebih sudah satu dekade masyarakat Indonesia telah berada dalam iklim yang demokratis. Dengan berbagai dalih, tiba-tiba pemerintah melakukan pelarangan terhadap peredaran buku. Sikap ini semakin menegaskan realitas bahwa praktik pe­larangan buku oleh institusi negara tidak pernah hilang bahkan setelah reformasi.

Padahal, reformasi yang digulirkan pada 1998 mendorong lahirnya reformasi konstitusional yang memperkuat jaminan hukum positif perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Hal itu diikuti pula dengan ratifi­kasi dua konvenan internasional utama hak asasi manusia, yakni kovenan hak sipil dan politik dan kovenan internasional hak ekonomi sosial dan budaya pada 2005 melalui UU No 11 dan 12 tahun 2005. Langkah pemerintah ini semakin mengukuhkan jaminan normatif perlindungan hak asasi pada masa transisi. Namun, keberlangsungan praktik pelarangan buku ini tentu menimbulkan sejumlah pertanyaan kritis atas komitmen perlindungan hak asasi dan demokrasi secara umum. Jika dipetakan lebih lanjut, politik pelarangan buku di era Reformasi sampai uraian ini ditulis (2016). Berikut.

Pada tahun 2002, Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan/pengkajian terhadap buku Aku Bangga Menjadi Anak PKI karya Ribka Tjiptaning (2002). Sejak diterbitkan pa­da 1 Oktober 2002, tim Kejaksaan Agung sudah intensif melakukan penelitian. Sepanjang penelitian, tim tak berusaha meminta keterangan dari penulisnya. Tim yang dipimpin JAM Intel Basrief Arief itu memberikan rekomendasi kepada Jaksa Agung M.A. Rachman, yang meminta supaya buku tersebut dinyatakan dilarang atau disita dan ditarik dari peredaran. Tim berargumen, buku tersebut berpotensi menyebarkan kembali paham dan ajaran komunisme di Tanah Air.

Ribka, yang berprofesi sebagai dokter, menyatakan tak akan melakukan apa-apa jika Kejaksaan Agung melarang bukunya ber­edar atau menyitanya. Ia sendiri mengaku heran kenapa buku-buku lain yang lebih ekstrem tidak diperlakukan sama dengan bukunya. Ia juga mempertanyakan kenapa tim Kejaksaan Agung sampai berkesimpulan bahwa bukunya menyebarkan paham komunisme. Ia menduga banyak yang salah paham hanya dengan melihat judul buku tersebut seolah-olah membangkitkan kebanggaan ajaran komunisme. Padahal, isinya sama sekali tidak demikian. Menurut Ribka, buku itu adalah dialog dia dengan bapaknya, yang memuat riwayat kehidupan dan pengalaman pribadinya.

Setahun kemudian, yakni 2003, Kejaksaan Negeri Jaya­pura melakukan pelarangan buku Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah Papua karya Benny Giay. Giay adalah Ketua Program Pascasarjana dan dosen Teologi Kontekstual Sekolah Tinggi Teologi Walter Post Jayapura. Buku ini memaparkan peristiwa sebelum, saat kejadian, dan setelah kematian Ketua Presidium Dewan Papua itu, yang dibunuh pada 10 November 2001 oleh Kopassus, unit pasukan elit khusus Tentara Nasional Indonesia (TNI). Buku Giay sebelumnya terbit November 2003 di Jayapura, dan dilarang oleh Kejaksaan Negeri Jayapura. Galangpress lalu menerbitkan ulang buku tersebut.

Pada 2005, Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan/pengkajian dua buku yang dianggap memuat ajaran Islam yang sesat (Aku Melawan Teroris karya Imam Samoedra dan Menembus Gelap Menuju Terang karya Muhammad Ardhi Husein) serta pemeriksaan/pengkajian buku Sukarno’s File karya Antonie Dake. Pasal penodaan agama telah membuat Muhammad Ardhi Husein divonis 5 tahun penjara pada akhir 2005.

Pada 2006, Kejaksaan Agung kembali melakukan pelarangan dua buku: Buku Atlas yang memuat bendera Papua Merdeka (Bintang Kejora), dan Kutemukan Kebenar­an Sejati dalam Al-quran karya Maksud Simanungkalit yang dianggap menodai ajaran Islam. Setahun sebelum bukunya dilarang oleh Kejaksaan Agung, Maksud Simanungkalit telah divonis penjara tiga tahun oleh Pengadilan Negeri Batam. Kejaksaan Agung menyatakan akan mengkaji bukunya, tapi hingga saat ini tidak ada kabar lebih lanjut apakah peredaran buku itu dilarang atau tidak.

Pada 2007, terdapat dua peristiwa pelarangan buku. Pertama, Jaksa Agung Hendarman Supandji pada 27 November 2007 menginstruksikan aparatnya untuk menyita buku Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat karya Sendius Wonda (Galangpress, 2007). Buku ini kemudian ditarik dari toko-toko pada April 2008. Kedua, setelah mengkaji 22 buku teks sejarah untuk SLTP/A, Kejaksaan Agung menerbitkan surat keputusan yang melarang 13 buku di antaranya. Kejaksaan Agung menyatakan 13 buku tersebut memutarbalikkan sejarah, karena tidak mencantumkan akronim “PKI” di belakang “G30S” dan tidak mencantumkan pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Selanjutnya, institusi kejaksaan di berbagai daerah melakukan razia dan pembakaran ribuan buku pelajaran sejarah. Pada tahap eksekusi lapangan, IKAPI mengeluhkan bahwa petugas razia bukan hanya menyita dan memusnahkan 13 judul buku yang dilarang tersebut, tapi juga memperluasnya pada buku-buku ajar sejarah lain, bahkan bu­ku sejarah untuk tingkat SD. Kejaksaan Negeri Tanjung Pinang, misalnya, pada Juni 2009, melarang peredaran 54 buku ajar sejarah sekaligus.

Pelarangan buku-buku pelajaran sejarah oleh Kejaksaan Agung pada 5 Maret 2007 me­mang kontroversial. Terdapat 22 judul buku dari 11 penerbit yang dilarang, antara lain Kronik Sejarah Kelas 1 SMP (karya Anwar Kurnia, diterbitkan Yudhistira), Sejarah 2 untuk SMP (karya Matroji, penerbit Erlangga), dan Pengetahuan Sosial: Sejarah 1 (susunan Tugiyono KS, penerbit Grasindo). Alasan pelarangan itu ditulis dalam satu kalimat panjang, ”bahwa barang cetakan/buku-buku teks pelajaran Sejarah SMP/MTs dan SMA/MA/SMK yang mengacu pada Kurikulum 2004 tidak sepenuhnya mencatat fakta kebenaran sejarah bangsa Indonesia, antara lain peristiwa pemberontakan PKI Madiun tahun 1948 dan peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965 hanya memuat G30S tanpa menyebut keterlibatan PKI. Hal tersebut merupakan pemutarbalikan fakta se­jarah sehingga dapat menimbulkan kerawanan, terutama dalam men­jaga persatuan dan kesatuan bangsa.”

Gaung pelarangan buku kembali menyeruak di akhir tahun 2009 setelah Kejaksaan Agung mengeluarkan surat keputusan tentang pelarangan 5 buku, yakni (1). Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa; (2). Suara Gereja Bagi Umat Tertindas: Penderitaan, Tetesan Darah, dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socrates Sofyan Yoman; (3). Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950- 1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan; (4). Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan, MM; dan (5) Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Drs. H Syahrudin Ahmad.

Dasar hukum yang digunakan Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran buku adalah UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Peredaran Barang-barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Ini adalah UU yang keluar pada keadaan darurat periode Demokrasi Terpimpin era Sukarno. Pada 2004, sebenarnya, DPR telah mencabut kewenangan Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran barang cetakan, yakni melalui UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Karena UU Kejaksaan RI yang baru tidak lagi memberi Kejaksaan Agung kewenangan untuk melarang peredaran buku, maka Kejaksaan Agung bersandar pada Penetapan Presiden (PNPS) tahun 1963 itu untuk membenarkan keputusannya.

Pada awal 2010, tepatnya pada Januari 2010, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengumumkan akan merekomendasikan Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran 20 judul buku. Menurut wartawan Tempo, Titis Setianingtyas, dalam berita yang ditulisnya berjudul “Rekomendasikan Pelarangan Buku, Menkumham Dianggap Tak Paham Kewenangannya” banyak yang menilai Patrialis Akbar dinilai tidak memahami posisinya. Salah satu narasumber berita tersebut, Al Araf, Deputi Direktur Imparsial, mengatakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak punya hak untuk mengkaji apalagi melarang terbitnya sebuah buku. Dalam hal ini, Al Araf mengemukakan, “Menteri yang mengurusi penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia kok malah mau membunuh demokrasi, melarang hak berekpresi. Sikap dan kebijakan dia jelas keliru.”

Pada 2012, Gramedia, toko buku terbesar di Indonesia, membakar ratusan eksemplar buku 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia karya Douglas Wilson. Semua bermula dari protes Front Pembela Islam (FPI) yang menganggap buku itu menghina Nabi Muhammad SAW. Pembakaran buku itu disaksikan oleh pihak Majelis Ulama Indonesia, Kepolisian, dan Direktur Utama Gramedia. Ironisnya, sebuah toko buku terbesar yang memiliki jaringan di seluruh Indonesia, malah memberikan jalan untuk penghancuran buku.

Tak hanya sampai di situ, Pada 2015, LPM Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga juga mengalami hal yang sama. Majalah Lentera yang diterbitkan pada Oktober 2015 itu terpaksa ditarik dari peredarannya oleh rektorat dan polisi lantaran laporan mereka tentang peristiwa 1965 di Salatiga.

Pada Mei 2016, yang terjadi bukan lagi pelarangan buku, namun aksi razia buku yang terjadi di sejumlah wilayah. Ternate, Maluku Utara, aparat TNI menangkap empat orang aktivis karena tudingan menyebar paham komunisme. Bersama mereka turut pula disita sejumlah buku koleksi pribadi, yang diduga memuat ajaran komunisme.

Di Yogyakarta Kejaksaan Tinggi DIY juga mengamankan buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula — terbitan Ultimus Bandung — dari sebuah kios buku di Shopping Center, sebelah utara Taman Pintar Yogyakarta. Sedangkan, penerbit Resist Book didatangi yang menanyakan sejumlah buku terbitan mereka yang oleh KontraS disebut intimidasi. Sementara itu, Kodim 0712 Tegal, Jawa Tengah, membawa puluhan buku dari pameran buku yang berlangsung di sebuah mal.

/V/

Konon inilah masalah terbesar dalam demokrasi sekarang ini, menurut Iwan Awaluddin Yusuf selaku Ketua Tim Riset Pelarangan Buku di Indonesia, ia beranggapan, “Pelarangan buku adalah bentuk paradoks di negara demokrasi karena memperlihatkan kesewenang-wenang­an dalam membatasi kebebasan berpikir, berpendapat, dan ber­ekspresi. Padahal semua itu dijamin oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, bahkan secara tegas ditulis dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pelarangan buku, di sisi lain, mengindikasikan ambiguitas kebijakan pengu­asa. Alih-alih mengantisipasi polemik di masyarakat, lewat tin­dakan pelarangan buku, pemerintah memperlihatkan praktik-praktik primitif dalam mengontrol, mengarahkan, membatasi, bahkan memandulkan cara berpikir masyarakat.”

Berbagai pembredelan, pelarangan, perampasan dan hal-hal terkait tentu saja mendapat banyak reaksi dan kecaman dari berbagai kalangan, terlebih mengenai hak asasi dan kebebasan berekpesi. Apalagi terhadap demokrasi yang merupakan ideologi negara kita. Lebih lanjut, Al Araf turut mengemukakan bahwa pelarangan terhadap sebuah karya atau pemikiran menunjukan bahwa demokrasi di negeri ini mengalami dekadensi. Menurutnya, tidak ada buku yang mengancam negara sebab dalam demokrasi mengkritik itu hal yang biasa. Di sisi lain, masyarakat juga sudah cukup cerdas, bisa memilah mana yang pantas dan baik untuk dibaca dan mana yang tidak. Oleh karena itu, yang harus disadari, menurutnya, kebebasan berekpresi itu dilindungi undang-undang.

Dari Yogyakarta, muncul pernyataan dari Masyarakat Literasi Yogyakarta (MLY), sebuah aliansi yang terdiri dari penerbit, lembaga percetakan, toko buku, pelapak daring, asosiasi buku, pembaca, media komunitas, dan organisasi serta individu yang peduli dunia perbukuan.

Mereka yang bergabung dalam aliansi itu, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, LBH Yogyakarta, Muhidin M. Dahlan (Warung Arsip), Fairuzul Mumtaz (Radio Buku), Garin Nugroho (sutradara), Irwan Bajang (Indie Book Corner), Pusham UII, dan INSIST Press. MLY mempertanyakan aksi teror, yang menjurus pemberangusan terhadap buku-buku dengan pandangan tertentu. MLY beranggapan, upaya pemberangusan itu mestinya tidak terjadi di dalam masyarakat demokratis.

Pada saat bersamaan di Bandung, para pegiat literasi, seniman, aktivis budaya, dan pelaku komunitas kreatif mendesak aparat kepolisan dan militer menghentikan intimidasi dan pemberangusan terhadap buku, diskusi buku, dan aktivitas literasi lainnya. ”Ini situasi paling absurd bagi budaya demokrasi dan pendidikan rakyat,” kata Ahda Imran, seorang pegiat literasi, dalam pernyataannya. Aksi penolakan ini digelar menyusul aksi pembubaran paksa monolog Tan Malaka, penangkapan seniman pantomim, dan pembubaran sekolah Marx di ISBI (Insitus Seni Budaya Indonesia).

Terlepas dari semua itu, sebenarnya hal ini sudah dituturkan dalam buku berjudul Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi (yang merupakan hasil Penelitian dari Iwan Awaluddin Yusuf, Wisnu Martha Adiputra, Masduki, Puji Rianto, Saifudin Zuhri). Menurut mereka motif utama pelarangan buku yang terjadi di Indonesia dari zaman ke zaman mengulang sebuah pola, yakni manifestasi otoritarianisme penguasa, dominasi ma­yoritas yang ditopang legitimasi kekuasaan, dan penghapusan ingat­an masa lalu. Meskipun struktur kekuasaan berganti, budaya otoriter dari rezim yang berkuasa menjadi pendorong utama segala bentuk pemberangusan sikap kritis masyarakat. Ini dilakukan, salah satunya, dengan memberi label “membahaya­kan keamanan”, “mengganggu ketertiban umum”, “ajaran sesat”, “tafsir sejarah yang keliru”, dan sebagainya.

Meskipun tak jarang razia/pembredelan/perampasan buku hanya berdasarkan sesat pikir saja, contohnya buku-buku yang memiliki unsur ‘Komunis’ atau ‘Marxis’ otomatis bersalah. Dalam laporan Tempo.co hal ini juga beribas pada pedagang buku. Beberapa pedagang buku menyembunyikan buku-buku yang berbau kiri/marxis/komunis dan memilih tidak menjualnya.

/VI/

Pada akhirnya kita dapat mengamini satu kesimpulan bahwa tindakan pelarangan buku, baik oleh negara maupun oleh kelompok masyarakat, adalah tindakan yang tidak dapat dibenar­kan dalam negara demokrasi. Selain itu, banyak juga faktor-faktor lain yang mendukung hal tersebut, dari payung hukum hingga Undang-undang.

Hal-hal yang harus dilakukan untuk mengantisipasi terulangnya hal tersebut ialah dengan bergerak bersama-sama, dari pegiat buku, tokoh budaya, para akademisi, pegiat sastra, seniman, dan mahasiswa, turut serta mendukung dengan mencabut semua atur­an hukum yang memberangus pelarangan buku, terutama UU No. 4/PNPS/1963. Selain itu, peraturan-peraturan hukum yang berpotensi melanggengkan pelarangan bu­ku juga sudah semestinya dihapuskan. Selain itu Negara atau Pemerintah sebagai pelaksana kebijakan, tidak lagi berfokus pada tindakan pengawasan dan pelarangan, melainkan secara aktif bersama pelaku perbukuan berusaha mewujudkan iklim yang kondusif bagi dunia perbukuan. Lalu turut pula menyarankan para pelaku industri perbukuan untuk terus mendorong pemerintah (eksekutif), legislatif, dan yudikatif agar tidak lagi menggunakan regulasi yang “kadaluarsa” untuk mengatur perbukuan. Pelaku dunia per­bukuan yang terdiri dari penulis, percetakan, penerbit, distributor, dan toko buku harus berkoordinasi supaya pihak-pihak berwenang tidak lagi mengawasi secara ketat dan melakukan pelarangan buku.

Dan yang terakhir, menyerukan agar kelompok-kelompok masyarakat tidak lagi main hakim sendiri bila tidak sepaham dengan buku tertentu. Buku mesti dijawab atau dilawan dengan buku. Pertemuan dengan penulis dan diskusi buku mesti digalakkan agar dunia perbukuan lebih maju lagi. Aparat keamanan juga sebaiknya bertindak tegas pada pelaku penyitaan dan pembakaran buku yang berasal dari kelompok-kelompok tertentu di masyarakat.

Hingga kelak dunia perbukuan di Indonesia tidak lagi kembali berurusan dengan pembredelan, pelarangan, pemberangusan atau yang lebih gila, pembakaran buku.

_______

Rujukan

Baez, Fernando. 2013. Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Jakarta: Marjin Kiri.

Yusuf, Iwan Awaluddin. dkk. 2010. Pelarangan Buku Di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi. Yogyakarta: PR2Media Bekerja sama dengan Friedrich Ebert Stiftung (FES).

https://beritagar.id/artikel/berita/razia-buku-kiri-melunaknya-polisi-dan-dugaan-menyalahi-konstitusi

http://intisari-online.com/Unique/Others/Tepat-Di-Hari-Buku-Nasional-Masyarakat-Literasi-Yogyakarta-Keluarkan-Tujuh-Maklumat-Buku

http://stomatarawamangun.com/esai/71/

http://tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=5153:penyitaan-buku-buku-papua&catid=88:lembar-olah-raga&Itemid=97

https://tirto.id/buku-yang-dilarang-dan-ditentang-bPeQ

http://www.batamtoday.com/news/read/2009/06/1901/14777.%20Kejari-Tanjungpinang-Larang-Peredaran-54-Buku-Pelajaran-Sejarah-dan-Atlas.html

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160517_indonesia_aksi_kebebasan

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6968/penulis-aku-bangga-jadi-anak-pkitak-pernah-diminta-klarifikasi

*tulisan ini pada mulanya merupakan penelitian yang saya lakukan untuk tugas dalam kelas Sastra Dunia pada 2017 silam. Demi kepentingan publikasi, saya menyunting ulang riset ini pada 2018 untuk ditayangkan di laman Semaymedia dalam rangka Hari Buku Nasional.

--

--

Doni Ahmadi

A writer and editor. His Book, short stories “Pengarang Dodit” (2019).