Posisi Sastra Indonesia, Agen Sastra, dan Apa Yang Bisa Dilakukan Setelahnya?

Doni Ahmadi
5 min readAug 21, 2020
foto kredit: The Jakarta Post

Kita boleh saja berbangga dengan kondisi sastra Indonesia hari ini, apalagi pada November 2019 lalu salah satu penulis Indonesia, Eka Kurniawan, masuk dalam daftar The Best Translated Novels of the Decade, versi Lithub.com—salah satu media sastra global asal Inggris. Novel Beauty is a Wound (Cantik Itu Luka) menjadi 10 terbaik. Novel ini berhasil melengserkan beberapa karya dari para Penulis terkemuka dunia, dari para pemenang Nobel, Parick Mondiano dan Olga Tokarczuk, hingga kandidat peraih Nobel di masa mendatang, Haruki Murakami.

Hal ini bukan kesuksesan satu-satunya Eka Kurniawan, karya lainnya, Man Tiger (Lelaki Harimau) bahkan sempat masuk daftar panjang Man Booker International Prize 2016, salah satu anugerah sastra kategori terjemahan yang prestisius. Eka juga mencatatkan namanya sebagai peraih Prince Clause Award 2018 dari Kerajaan Belanda, penghargaan untuk karya-karyanya yang memberi dampak besar bagi kesusastraan Asia.

Selain Eka, beberapa nama penulis lainnya juga turut menyemarakan sastra Indonesia di pentas global. Sedikit contoh, Intan Paramaditha dengan novel The Wandering (meraih English PEN/Heim Translation Award 2019); Norman Erikson Pasaribu dengan kumpulan puisi Sergius Seeks Bacchus (meraih PEN Present East and Southeast Asia) serta beberapa penulis Indonesia yang karyanya sudah diterjemahkan dan diterbitkan penerbit luar negeri: Afrizal Malna dengan Document Shredding Museum; Leila Chudori dengan Home dan masih banyak lagi. Bahkan novel penulis muda Indonesia, Puya ke Puya karya Faisal Oddang, sudah dibeli hak ciptanya dan akan diterjemahkan ke bahasa Italia. Hal ini menjadi pencapaian tersendiri bagi Indonesia, (sepengetahuan saya) buku penulis Indonesia biasanya lebih dulu diterbitkan dan diterjemahkan ke bahasa Inggris sebelum beralih rupa ke bahasa lain.

Deretan prestasi ini bisa dengan mudah dijadikan klaim dan posisi sastra Indonesia di pentas dunia hari-hari ini. Kita juga sudah punya nama yang lain dan tak melulu Pramoedya Ananta Toer. Sayangnya, sederet prestasi ini tidaklah datang sekonyong-konyong, sastra bukanlah ajang pencarian bakat yang bisa tiba-tiba viral dan langsung terkenal, ia membutuhkan proses yang panjang dan tentunya tidak setengah-setengah. Ada banyak tahapan dan banyak peran krusial yang dilakukan untuk membuat para pembaca di belahan bumi lain membaca sastra Indonesia.

Di antara peran yang cukup krusial adalah seorang Agen Sastra. Di tangan mereka sastra Indonesia dan buku-buku dari penulis kita bisa tersebar ke belahan bumi lain. Jika saya boleh menekankan, mereka ini adalah ujung tombak dalam lalu lintas sastra Indonesia di Dunia. Sayangnya, profesi ini tidaklah dianggap penting, bahkan mungkin sama sekali tidak ada yang mengetahui profesi jenis ini ada di Indonesia.

Dari penelusuran saya, Indonesia sendiri memiliki enam agensi yang mawadahi para agen sastra. Di antaranya Borobudur Agency, Maxima, Literasia, Trisda Agency, dll. Mereka juga tidak hanya fokus memasarkan buku sastra, namun berbagai genre lainnya hasil karya penulis Indonesia. Dengan kondisi perbukuan hari ini, dengan sastra Indonesia yang mendapat posisi di dunia (menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015 dan menjadi Market Focus pada London Book Fair 2019) apresiasi terhadap profesi agen sastra ini tentu tidak bisa dipandang sebelah mata, dan negara tentu saja memiliki hutang apresiasi terhadap kerja mereka.

Peran penting selanjutnya adalah Komite Buku Nasional (KBN) yang entah kenapa malah dibubarkan pada tahun ini. KBN tidak hanya berperan dalam masuknya Indonesia ke dalam pesta buku internasional, mereka bahkan menjadi representasi buku-buku Indonesia di pentas dunia. Dengan berbagai program, dari mulai beasiswa penerjemahan karya sastra Indonesia yang membuat Sastra Indonesia dapat diakses ke pembaca global, beasiswa residensi penulis ke berbagai negara luar yang sekaligus memungkinkan terjadinya pertukaran gagasan sehingga terjalinnya koneksi ke wilayah yang jauh, hingga pendokumentasian sastra Indonesia—dari mulai daftar para penerbit buku dan lain sebagainya. Dengan peran dan dampaknya yang signifikan itu, bubarnya KBN membuat saya bertanya-tanya, apakah negara betul-betul tidak memerhatikan sastra? Atau hanya mau ikut terlibat ketika salah satu penulis Indonesia masuk nominasi Nobel—dan bikin acara seremonial yang tidak penting.

Menanggapi hal ini, seharusnya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB) bisa masuk dan mengisi ruang-ruang yang kosong tersebut. Kita juga bisa mencontoh bagaimana The Institute for The Translation of Hebrew Literature yang dijalankan negara kecil seperti Israel. Lembaga ini bukan hanya mampu memetakan seluruh penulis Israel, mereka juga mendata para penulis disertai daftar buku-buku penulisnya yang sudah terbit dan dialihbahasakan, serta kontak kepada agen penulis. Berbagai program lainnya juga tersedia: menyediakan beasiswa penerjemahan untuk para penerbit luar yang hendak membeli hak cipta penulis mereka, memberikan kemudahan akses dengan tampilan laman yang menarik serta info-info terkini terkait para penulis—dari buku baru hingga penghargaan apa saja yang diraih. Hasilnya bisa kita lihat sendiri, pembaca sastra di seluruh dunia bahkan sudah tidak asing dengan nama-nama penulis Israel seperti Amoz Oz, Etgar Keret, hingga David Grossman.

Hal-hal semacam inilah yang luput dibahas ketika kita sibuk membahas posisi Sastra Indonesia di pentas Dunia. Pembahasan kita selalu berkutat pada penulisnya, meskipun ini perlu, tapi proses dibalik ini juga jauh lebih penting. Tanpa penerjemahan ke bahasa Inggris, tanpa peran agen sastra yang mempromosikannya, saya rasa Eka Kurniawan tidak akan pernah mencatatkan namanya di daftar pendek penghargaan buku bergengsi dunia dan membuat karyanya diterjemahkan lebih dari 30 bahasa.

Sebagai perpanjangan tangan pemerintah, BPPB saya rasa sudah mulai harus bebenah dan mengisi beberapa kekosongan yang ditinggalkan KBN. Hal itu bisa dimulai dengan memperbarui ensiklopedi sastra kita di laman http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/ ini. Pertama-tama, daftar ini sudah kelewat basi, alias tidak bisa lagi dijadikan rujukan—padahal dibuat pada 2020. Mengapa demikian? Ensiklopedi ini hanya memuat 247 penulis saja, jangan harap kita bisa menemukan nama para penulis muda Indonesia, nama penulis sekaliber Eka Kurniawan saja tidak termaktub. Selain itu, di kategori penghargaan, Kusala Sastra Khatulistiwa yang prestisius bahkan tidak dicantumkan.

Ensiklopedi milik negara ini—yang notabene baru dibuat pada 2020—sejatinya bisa kita bandingkan dengan laman Idwriters.com yang dikelola secara mandiri oleh Valent Mustamin — yang sudah vakum dan tidak adanya pembaharuan sejak September 2019. Ensiklopedi yang sudah vakum ini bahkan telah mendokumentasikan 500 penulis lebih termasuk para penulis muda, dengan 600an judul buku, serta buku-buku Indonesia apa saja yang sudah dan akan diterjemahkan di media maupun penerbit luar negeri. Hal-hal yang luput dilakukan negara.

Dengan berbagai fakta yang saya dedahkan dan dengan posisi sastra Indonesia saat ini di lanskap global, saya rasa BPPB punya pekerjaan rumah yang lumayan banyak. BPPB juga barangkali sudah bisa mulai menyicilnya satu persatu. Pekerjaan yang sekaligus pembuktian bahwa anggapan saya soal apakah negara tidak memerhatikan sastra Indonesia, adalah keliru. Begitu.

16 April 2020

Daftar Rujukan

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/galat.html

http://idwriters.com/

https://lithub.com/the-10-best-translated-novels-of-the-decade/

https://pen.org/2019penheimgrants/

https://thebookerprizes.com/books/man-tiger-by

https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20181207140716-241-351876/eka-kurniawan-raih-prince-claus-awards-2018-di-belanda

https://www.instagram.com/p/B8fr2WLpk-e/

http://www.ithl.org.il/

*Esai ini ditulis untuk kegiatan Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia III 2020.

--

--

Doni Ahmadi

A writer and editor. His Book, short stories “Pengarang Dodit” (2019).