Sutikno Wirawan Sigit: Perjuangan dan Kata-kata

Doni Ahmadi
5 min readMay 2, 2020
Sutikno Wirawan Sigit/Foto: http://asepsambodja.blogspot.com/

Nama Sutikno Wirawan Sigit barangkali kurang familiar di telinga masyarakat luas. Bahkan dalam bidang yang ia geluti seklipun —Sastra — namanya masih samar-samar. Ia lebih banyak bercokol dan ditemui di dalam arsip, sejarah, dan semacamnya.

Penyair Sutikno Wirawan Sigit telah berpulang pada 28 September 2014 lalu. Kiprahnya di dunia sastra, bisa dibilang tidak sebentar. Ia tercatat sebagai penyair, prosais, dan jurnalis.

Sutikno lahir di Cilacap, Jawa Tengah, 14 Oktober 1939. Ia memulai karier jurnalistiknya sebagai wartawan harian Gema Massa di Semarang pada 1962–1964. Pada 1964, Ia duduk sebagai redaktur majalah Zaman Baru — majalah yang dibuat oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (atau dikenal sebagai LEKRA).

Karier beliau sempat terhenti karena terjadinya peristiwa Gestapu. Pada tahun-tahun selanjutnya — seperti yang dialami para seniman lain yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)—ia harus menjalani masa pelarian. Faktanya, Sutikno tidak memiliki hubungan apapun dengan PKI, ia hanya dikenal sebagai salah satu seniman LEKRA. (Pasca peristiwa berdarah 1965, para seniman LEKRA memang menjadi buruan oleh militer karena dianggap sebagai underbow kebudayaan PKI. Meski hal ini dibuktikan keliru). Sutikno tertangkap tentara pada April 1969 di rumahnya di Jalan Widya Chandra, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Setelah penangkapan itu, bisa dibilang karier kepenulisannya memang berhenti, namun dalam hemat saya, penangkapan itu pada akhirnya membuktikan bahwa Sutikno memang seorang seniman yang luar biasa. Pada malam penangkapannya, Sutikno dibawa ke Gang Buntu di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan — tepatnya bekas studio film milik aktor legendaris Tan Tjeng Bok — yang disulap menjadi rumah tahanan oleh tentara. Empat bulan mendekap di Gang Buntu, selanjutnya Ia dilarikan ke Salemba. Setelah Salemba, lagi-lagi ia dipindahkan ke penjara Tangerang.

Pada masa inilah proses kesenimanannya dimulai. Di penjara, ia mengaku hasrat menulisnya tetap menggebu-gebu meski pena dan kertas merupakan barang haram di sana. “Saya dilarang menulis, Kalau ketahuan hukumannya bisa ditambah,” tutur Sutikno.

Meskipun begitu, hal barusan sama sekali tidak membuat semangat Sutikno patah, Ia pun menulis puisi menggunakan ingatannya. Puisi itu dihafalkan di dalam hati dan dinyayikan dikepalanya. Tak sampai di situ, setelah ia mendapat benang dan jarum peninggalan salah seorang teman sesama tahanan, ia mulai menyulam puisi-puisi tersebut di ujung celana atau punggung bajunya agar tidak ketahuan. Salah satu puisi hasil sulaman beliau adalah puisi yang berjudul “Sonata untuk Iwan-ku” yang terdapat pada buku kumpulan puisinya yang bertajuk Nyanyian Dalam Kelam (Terbit Januari 2010).

Pada 1971, Sutikno lagi-lagi harus dipindahkan ke tahanan baru, ke Pulau Buru, pulau seluas 8.400 kilometer persegi yang berlokasi di kepulauan Maluku. Tempat yang dikenal sebagai lokasi pembuangan bagi para tahanan politik Orde Baru. Di sana ada 30 unit rumah tahanan, masing-masing berkapasitas 500 orang. Sutikno tinggal bersama seniman-seniman terkenal lainnya seperti Bachtiar Siagian, Pramoedya Ananta Toer, dan sebagian besar seniman LEKRA lainnya yang tidak diketahui jumlahnya.

Pulau Buru adalah babak baru bagi Sutikno, “Di Buru ada kebebasan!” Kata Sutikno dalam wawancara Tempo pada Oktober 2013. Pada saat itu, puisi-puisi yang ia buat di penjara-penjara sebelumnya, berhasil ia tumpahkan di Pulau Buru. Hingga pada akhirnya puisi-puisi itu dipublikasi dan dibukukan pada 2010.

Di Buru, tak hanya Sutikno, semua seniman lain juga bebas berekspresi, bahkan terdapat sebuah gedung pertunjukan di sana. Tak hanya mementaskan pertunjukan drama dan mini konser orkestra, seniman-seniman lain seperti perupa pun melakukan kegiatan seni mereka dari melukis hingga membuat pementasan.

Sutikno baru bisa merasakan udara segar dari pada 1979. Meskipun begitu, penderitaan beliau bisa dikatakan belum juga berakhir. Selepas dari Pulai Buru, cap ‘ET’ alias ‘eks tahanan politik’ disematkan pada kartu tanda penduduknya, dan imbasnya, membuat Sutikno mengalami penolakan di mana-mana. Faktanya, bebas buat Sutikno tidaklah sepenuhnya bebas, belenggu penjara adalah satu hal dan stereotipe masyarakat adalah hal lainnya.

Mengetahui hal ini, Sutikno kembali memutar otak agar dapat bertahan hidup, berbekal kemampuannya menulis ia memutuskan untuk bereksplorasi dan menulis keluar dari kebiasaannya, menulis sastra, di mana ia memulai menulis cerita anak-anak. Tulisan itu ia kirim ke majalah-majalah anak seperti Kawanku dan Tomtom. Tak lupa, Sutikno juga menyembunyikan nama depannya agar tidak diketahui, menjadi S. Wirawan Sigit. Tulisannya dimuat dan mendapat honorarium sebesar limabelas ribu rupiah. Sayangnya, itu tidaklah cukup. Sutikno setidaknya harus menulis paling sedikit delapan cerita. “Saya butuh delapan tulisan perbulan untuk bisa bertahan hidup bersama istri dan dua anak saya,” ujar Sutikno.

Setelah berhasil menggeluti dunia penulisan cerita anak, dua tahun berselang Sutikno berhasil merampungkan sebuah novela anak berjudul Anak Republik yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu, Sutikno juga berhasil kembali ke pekerjaan lamanya sebagai wartawan. Bedanya, Sutikno tidak lagi mengurusi bidang seni maupun sastra, tetapi sebagai wartawan di majalah peternakan, adalah Poultry Indonesia. Di awal perjalanan sebagai wartawan majalah ternak, Sutikno seolah setengah hati ketika menerimanya. Ia berujar, “Saya tidak tahu soal peternakan, tapi karena butuh uang, saya terima.”

Meski ia menerima pekerjaan itu setengah hati, Sutikno seperti tersesat di jalan yang benar. Dengan pengetahuannya yang terbatas, ia bahkan mampu menjadi pemimpin umum majalah yang berkantor di bilangan Mangga Dua, Jakarta Utara. Sebelum akhirnya berpulang dan meninggalkan jabatannya itu untuk selama-lamanya.

Meski Sutikno tidak melulu bekerja untuk sastra dan seni, namun sepak terjangnya di dunia sastra masih terus dipertahankan. Selepasnya dari Buru, ia juga makin produktif menulis, novel maupun kumpulan cerpen yang sudah diterbitkan setelah ia bebas antara lain, Paman Widya, Menyongsong Pagi Ceria, Tidak Menyerah, Bila Semua Ikut Menyumbang, Mekar di Tengah Belukar, Cahaya di Tengah Ladang. Sebagian karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka dan menjadi koleksi perputakaan Sekolah Dasar pada era 80-an.

Perjalanan hidup Sutikno sebagai seniman dan maupun sebagai manusia sudah selayaknya diapresiasi lebih lagi. Dari keterbatasannya sebagai penyair yang mendapat kekangan dan tidak boleh menulis dalam tahanan, hingga perjuangannya melawan stigma buruk di kalangan masyarakat sebagai bekas tahanan politik. Sutikno masih sanggup berjuang dengan ingatannya, dengan pikirannya, dengan perjuangan kata-katanya yang kembali menyelamatkan hidupnya.

Mengutip Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Dan begitulah Sutikno, jauh setelah kepergiannya, ia masih dan terus menginspirasi.

Kebanyakan orang yang tinggal di Indonesia mungkin sedikit bias dan lupa dengan arti kata apresiasi, yang dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti penilaian/penghargaan terhadap sesuatu. Sebagai tokoh yang mengapresiasi, saya tujukan tulisan ini untuk beliau. Perjuangannya adalah sekaligus pertanda, bahwa sebetulnya, Indonesia belumlah selesai dengan masa lalunya. Begitu.

_____

*Tulisan ini menjadi pemenang keempat dalam sayembara penulisan karangan khas/feature bagi mahasiswa yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015.

--

--

Doni Ahmadi

A writer and editor. His Book, short stories “Pengarang Dodit” (2019).