Tujuh Tahun Keberuntungan, Tujuh Tahun Bersama Dias

Doni Ahmadi
6 min readJul 6, 2020
Foto: Dokumentasi Pribadi

Saya selalu kagum dengan orang-orang yang mampu menuliskan lirik lagu romantis, menulis surat cinta, dan semacamnya untuk kekasih mereka. Hal yang tidak pernah saya lakukan salama saya hidup. Dulu sekali, sewaktu saya pertama kali membaca buku puisi, saya juga dibuat kagum oleh para penyair. Mereka lihai betul mengolah kata demi kata. Dan sebagaimana orang yang kagum, saya juga mencoba membuat hal serupa. Hasilnya, buruk sekali. Saya banyak meminjam frasa dan napas para penyair yang saya idolakan. Hal yang saya sadari kemudian bahwa itu tidak baik, dan itulah yang membuat saya enggan untuk menulis puisi lagi.

Dias saksinya, ia bisa dibilang menjadi korban mahasiswa sastra yang baru suka puisi. Sewaktu saya memulai pendekatan, tak jarang saya mengiriminya puisi. Puisi bikinan pemuda yang keranjingan kata-kata puitis dengan akrobatik kata sana-sini. Celakanya, ia menyukai puisi-puisi itu. Dulu sih saya senang-senang saja, dan itu pertanda baik. Namun kini saya berpikir ulang, tebakan saya, mungkin sekali waktu Dias pernah merasa jijik pada puisi yang saya kirim, apalagi dengan banyaknya repetisi dan diksi yang itu-itu saja. Lagipula saat itu saya masih belajar menulis dan hasilnya sudah pasti, jelek saja belum. Meskipun begitu, saya merasa harus berterimakasih juga kepada puisi-puisi tersebut, meskipun saya lupa pernah membuatnya, ternyata perannya krusial terhadap hubungan kami.

Selesai puisi, tidak ada lagi. Saya tidak bisa membuat lagu, tidak bisa menyanyi semerdu Clapton, tidak ciamik memberi kejutan dan hal-hal yang memiliki kesan romantis. Bahkan untuk memberinya coklat, saya lakukan dengan menaruhnya diam-diam di tasnya (tanpa surat cinta dan hal yang kemungkinan bikin ia berbunga-bunga). Selama hampir tujuh tahun bersama, saya jarang sekali memberikan hal-hal semacam itu. Misalnya setangkai atau sebuket bunga, itu terhitung jari. Apa yang dibilang para peramal zodiak bahwa “Pisces = seorang yang romantis“ ternyata meleset jauh, sebagai Pisces saya tidak ada romantis-romantisnya dan itu diakui Dias beberapa hari lalu saat saya mengantarnya pulang. Dan saya merasa berutung bahwa kami masih bersama hingga saat ini.

Hubungan macam begini tentu sudah bisa diduga. Saya pikir banyak sekali harapan Dias sebagai kekasih yang meleset, dan jika ia menyesal, ini sepenuhnya menjadi salahnya karena mau menerima saya. Seingat saya, Dias suka adegan romantis di film-film, dan nasibnya kelewat buruk karena memiliki pasangan seperti saya. Untungnya, kami jarang sekali menonton film drama romantis di bioskop, selain itu, saya sejujurnya juga tak siap dengan serangan kode-kode setelah menonton film romance.

Ngomong-ngomong soal kode, saya cukup beruntung karena kami berdua akhirnya sepakat untuk tidak memberi kode dan langusung to do point. Misalnya, jika salah satu di antara kami ulang tahun, kami bebas memilih kado sesuai yang kami ingin. Alasannya sederhana, seringkali hadiah yang kami berikan hanya bersifat simbolis saja, alias tidak begitu berguna pada kehidupan kami setelahnya. Misal, pernah Dias memberi saya Jaket, padahal saya sudah punya bejibun dan hanya beberapa jaket saja yang bikin saya nyaman. Ini pada akhirnya yang membuat kami meributkan hal yang tidak perlu. Contohnya pertanyaan semacam ini, “kok jaket dariku nggak pernah kamu pakai?” pertanyaan ini biasanya akan berujung pada beberapa hal yang bisa dibayangkan, tapi wajar, setiap orang tentunya ingin pemberiannya dihargai. Sialnya, hal semacam ini juga terjadi pada saya, meski dalam konteks yang lain.

Waktu saya rajin menulis dan tulisan saya tersebar di beberapa media—cetak dan daring—di antara sekian banyak teman yang berkomentar, Dias malah sebaliknya. Meskipun ia adalah orang yang pertama memberi selamat dan berjanji akan membacanya, tapi ia tidak pernah membahas tulisan saya. Saya menanyakan hal itu dengan sedikit kecewa, apalagi yang keluar darinya melulu pujian, saya sebal juga. Saya tidak ingat persis apa pembelaannya, tapi dari situ saya tahu bahwa ia memang membaca tulisan saya dan memerhatikan detail dari apa yang biasanya saya lakukan di tiap tulisan saya. Lama setelah itu, sebelum saya mengirim tulisan saya untuk dibahas dalam kelompok menulis maupun untuk dikirim ke media, ia mulai menjadi orang pertama yang membaca hasil tulisan saya. Saya juga baru menyadari bahwa saya kekurangan pembaca yang detail, maksud saya yang mengurusi hal teknis seperti salah ketik. Bagi saya ini krusial dalam kecakapan menulis. Dias pada akhirnya mengisi peran itu. Ia memang tidak lagi mengurusi soal substansi, paling-paling ia menanyakan mengapa gaya saya berubah, mengapa tidak pakai formula biasa, dan semacamnya, dan semacamnya. Hal-hal semacam ini yang membuat saya lagi dan lagi merasa beruntung.

Sampai di sini, terlihat sekilas bahwa hubungan saya dan Dias tampak harmonis dan lancar-lancar saja. Dan ini keliru. Kami sering bertengkar, ribut-ribut dan kejar-kejaran seperti film India juga pernah, dan banyak lagi. Biar saya tegaskan, hubungan yang selalu mulus rasanya hanya ada di video gim, contohnya Harvest Moon. Dalam gim tersebut, perjalanan asmara tokohnya mulus-mulus saja, meskipun si tokoh petani muda ini menggoda perempuan mana saja, tidak ada drama yang terjadi setelahnya, tidak ada istilah PHP dan semacamnya. Semua berterima. Di dunia nyata, saya nyaris tak pernah menemukan hubungan yang melulu harmonis—baik yang saya alami maupun yang dialami teman-teman dekat saya. Saya dan Dias juga sering ribut-ribut kecil, ribut besar, hingga mengakhiri hubungan. Satu hal yang bagi saya penting adalah bahwa ini adalah kali pertama saya balikan dengan mantan kekasih. Sebuah prinsip hidup katrok masa lalu yang harus saya langgar.

Waktu itu saya masih memegang teguh falsafah bahwa hubungan asmara bagaikan benang. Jika benang itu putus, artinya sudah selesai, menyambung benang yang putus hanyalah kesia-siaan belaka karena benang hasil sambungan tidak akan menjadi seperti semula. Analogi ini memang betulan terjadi, hubungan kami setelahnya memang jauh berbeda. Dan saya menyadari bahwa semakin ke sini ternyata menjadi semakin baik. Dalam pendidikan yang seksis, saya diajarkan bahwa laki-laki harus memiliki prinsip. Saya sadar bahwa itu keliru karena baik laki-laki, perempuan, hingga seluruh gender yang ada di muka bumi ini memang harus punya prinsip, dalam kata lain biasa disebut idealisme. Idealisme tentu bukan hanya milik laki-laki. saat menyadari kekeliruan itu, saya mulai bebenah, banyak hal yang berubah dan saya beruntung cara pikir semacam itu juga ikutan pergi. Kami pun jadi lebih relaks dalam berhubungan.

Ada satu hal penting, dampak buruk turunan dari pandang masa lampau itu juga berimbas pada pilihan saya bersikap. Misal, laki-laki harus menjadi pemimpin, sebisa mungkin harus tampak kuat, dan tidak boleh menangis. Saya menjadi orang yang keras kepala, sok kuat, sok menjadi pemimpin bagi Dias dan membuatnya seideal mungkin dengan apa yang saya harapkan. Yang terburuk: menuntut sana-sini, meminta apa yang tidak bisa diberikan, dan hal-hal yang bikin kami berdua berada dalam tekanan.

Beruntung, warisan kuno itu sudah kami kubur bersama. Kami juga sadar, masih banyak hal yang ingin kami kejar, dan hubungan jenis apapun tidak punya hak untuk merecokinya. Sesuatu yang mustahil terjadi di masa lalu. Melewati fase tersebut, sekali lagi, adalah keberuntungan bagi saya.

Ngomong-ngomong, sebetulnya tulisan ini saya rencanakan untuk hari jadi kami pada 17 September mendatang, sebagai penanda tujuh tahun kami bersama. Ide ini juga datang sekonyong-konyong, saya berharap bisa menuliskan sesuatu yang panjang dan romantis, dan nyatanya saya gagal. Untungnya tulisan yang lahir prematur ini masih relevan, apalagi tujuh tahun lalu kami memang sudah dekat. Selain itu, di ulangtahunnya hari ini, saya pikir tulisan ini bisa mewakili ketidakhadiran saya karena harus mengurusi pendaftaran sekolah adik. Apalagi ia bersikeras agar saya tidak memberikan kado maupun hadiah di ulangtahunnya hari ini.

Satu hal yang tidak pernah saya lupa: Tujuh tahun lalu, sekitar pukul delapan atau sembilan malam, kami menerbangkan sebuah lampion—disertai dengan harapan masing-masing—ke angkasa. Saya tidak meminta hal yang muluk-muluk waktu itu, hanya berharap bahwa ia bisa mencintai saya. Dan hari ini, harapan itu jauh melampaui apa yang saya inginkan. Yang saya tahu, ia bukan hanya mencintai saya dengan sederhana, tapi dengan segala kegigihan yang ada. Saya tidak pernah menyangka akan mengalami tujuh tahun keberuntungan setelah lampion itu terbang.

Kalau boleh jujur, saya pun belum pernah jatuh cinta sekeras saya mencintai Dias, merasa bahagia berlipat ketika bersamanya, dan bikin saya bersikeras menjadikan ia kekasih pertama yang saya kenalkan kepada Ibu, Ayah, dan keluarga saya. Jadi, bisa dibilang kami impas.

Selamat ulang tahun, Dias. Oh iya, dia harus tahu ini: Pelukan darinya adalah hal yang membuat saya yakin bahwa akan selalu ada kehangatan di masa depan. Begitu.

Jakarta, 7 Juli 2020.

--

--

Doni Ahmadi

A writer and editor. His Book, short stories “Pengarang Dodit” (2019).